42. Kabar Burung

1.2K 167 3
                                    

Kelas debat saya baru saja berakhir. Rencananya setelah ini saya akan berada di himpunan, menghadapi maba Sasing yang jumlahnya 2 kali lipat dari maba di jurusan lain yang ada di Sastra.

Berkuliah di Sastra itu, bikin nge-blank bagi siapa pun di awal-awal masuk. Apalagi saat membaca KRS, melihat nama mata kuliah yang terdaftar. Pasti seketika berpikir, kenapa saya masuk Sastra ya?

Pengantar Pranata itu apa? Ilmu Linguistik itu bagaimana? Ilmu Sastra itu seperti apa? Terus panorama Uni Eropa itu apa? Tour ke Eropa, kah?

Morfosintaksis? Semantik? Saya tahunya pemantik, huhu ...

Sintaksis? Semiologi? Leksikologi dan Leksikografi? Kalau kaligrafi suka.

Itu masih seperempat dunianya, belum lagi kajian-kajiannya. Kajian budaya, kajian prosa, kajian teks, kajian fiksi ilmiah, kajian puisi, kajian drama, bahkan kajian psikologi dan sosiologi tidak pernah luput dari Sastra.

Jadi kalau ada yang bilang Sastra itu gampang, sini kita gelut.

Masih banyak deh tentang mata kuliah Sastra yang membuat kepala cenat-cenut. Termasuk kuliah saya pagi tadi, LOGIKA. Tahu, apa yang saya pelajari?

Pst ... jangan tanya balik, saya lebih baik ikut kelas debat sehari semalam daripada belajar logika. Dalam bahasa Indonesia pun dijelaskan saya masih bingung, apalagi kalau pengantar matkul-nya berbahasa Inggris. Rasanya saya ingin ke Teknik Arsitektur sajalah atau mungkin di Kedokteran Umum.

Saya meregangkan otot-otot sekaligus menghirup udara yang sudah lebih segar, pasca teman-teman saya lainnya meninggalkan ruangan ini dan berpencar entah ke mana. Saya tidak peduli, karena mereka punya dunia sendiri begitu pula dengan saya.

Hanya tersisa beberapa orang di dalam ruangan, sibuk dengan ponselnya, dan ada juga yang sibuk dengan rasa kantuknya. Siapa lagi kalau bukan si tukang tidur.

"La ... dengar-dengar nih kamu dekat sama waket BEM-U?" Bisikan teman saya yang astuti membuat saya menghentikan kerja tangan saya.

Buku yang tadinya mau saya masukkan ke dalam tas kini saya letakkan kembali ke atas meja.

"Lumayan sih. Kenapa? Mau titip salam?" Si astuti malah mencebik kesal.

By the way, dibandingkan teman angkatan saya lainnya, si astuti ini lebih akrab ke saya. Secara dia orangnya terus terang, tidak suka kubu-kubu, dan jujur dia menjadi organisatoris sesuai mood. Jadinya dia tidak begitu peduli dengan omongan orang-orang tentang jiwa keorganisasian saya, jiwa kritis saya, dan segala jiwa yang membuat teman-teman saya lainnya enggan mendekat.

Akan tetapi si astuti ini juga tidak begitu dekat dengan saya. Kita cuma sebatas teman makan— kadang, teman kelompok, dan teman kategori lainnya yang susah saya sebutkan.

"Tidak. Ogah aku kena skandal cuma karena titip salam." Saya mengernyit. "Kamu itu lagi dibahas di Sastra." Kali ini saya benar-benar melongo.

"Kabar yang mampir di kupingku nih ya, kamu masuk BEM-U karena cowok itu." Tai kucing.

"Sialan. Fitnah itu." Dia cuma mengedikkan bahu.

Ini yang paling saya tidak sukai. Segala macam fitnah bisa menyebar dengan cepat dengan bumbu penyedap rasa yang memuakkan bagi tokoh dalam fitnah yang beredar.

Kampret sekali mereka. Dipikir saya masuk BEM-U karena kak Wildan? Off course no.

Saya memang tertarik padanya sejak awal. Bahkan sampai sekarang, saya mengakui hal itu. akan tetapi tertarik pada seseorang rasanya tidak pantas dijadikan alasan utama untuk melibatkan diri dalam organisasi besar setingkat BEM-U ini. Lagi pula kalau saya masuknya karena kak Wildan, kenapa saya capek-capek ikut aksi, terjun langsung dengan proker-proker BEM-U, bahkan yang bukan tanggung jawab saya.

Mahasiswa- Akademik, Cinta, OrganisasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang