Berulang kali Jennie membolak balik halaman laporan praktikumnya. Mulutnya komat kamit menghapal semua isinya. Di sampingnya, Momo melakukan hal yang sama. Tidak dapat dipungkiri bahwa keduanya merasa tegang selagi memunggu giliran untuk dipanggil ke ruang responsi. Kebetulan Jennie kebagian kloter kedua.
Semalam Jennie sudah belajar mati-matian, tapi tetap saja ia merasa gugup saat mengingat ini adalah responsi pertamanya dan sialnya diantara ketiga praktikum malah Geologi yang mendapat jadwal pertama. Bikin Jennie semakin tertekan saja. Ia tidak begitu menyukai Geologi. Materinya banyak dan lebih susah dibanding kedua praktikum lainnya.
Beberapa menit kemudian akhirnya nama Jennie dipanggil. Serta merta ia menutup laporan praktikumnya dan mengembuskan napas panjang. Momo meremas telapak tangannya yang terasa dingin lalu memberinya semangat.
"Lo pasti bisa Jen!" katanya berhasil membuat kedua ujung bibir Jennie terangkat membuat senyuman kecil.
"Thank you Mo, gue duluan." Jennie berderap memasuki ruangan dimana para asisten praktikum berada dan sudah berjaga di bagian masing-masing.
Setelah ia mengumpulkan laporan praktikum yang sudah dijilidnya, Jennie digiring ke salah satu meja dimana Nayla berada. Ia tersenyum menyambut Jennie. Di atas meja itu terdapat beberapa alat praktikum Geologi yang pernah Jennie gunakan.
Nayla kemudian menyerahkan sebuah kompas Geologi kepada Jennie sambil berkata, "Jelaskan tentang alat ini selengkap mungkin."
Jennie mengangguk. Ia menerima kompas tersebut dan mulai mengingat-ingat apa saja yang sudah ia pelajari. "Alat ini namanya kompas Geologi, fungsinya untuk menentukan arah dan besar sudut serta kedudukan lapisan batuan," ujar Jennie berlanjut dengan menjelaskan bagian alat, cara menggunakannya serta kelebihan dan kelemahan alat tersebut.
Nayla tersenyum puas mendengar jawaban Jennie. Ia menggoreskan sesuatu di kertas penilaiannya lalu menyuruh Jennie pindah ke meja berikutnya.
Jadi responsi Geologi ini dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing sudah dijaga oleh asprak. Mirip seperti pos-pos yang sering digunakan anak pramuka saat berkegiatan.
Bagian kedua hanya tes tentang menghitung massa batuan. Jennie bisa mengerjakannya dengan mudah, namun rasanya Jennie ingin melewati bagian ketiga saat melihat sosok Terry berdiri dengan aura menyeramkan. Tidak ada senyum sedikipun. Ya, walau dia memang jarang tersenyum sih.
Ragu-ragu Jennie mendekati meja Terry dimana di sana sudah terdapat belasan sampel batuan berjejer rapi di atas kotak kaca yang bisa dibawa kemana-mana.
Terry menyuruh Jennie duduk dan memberikan selembar kertas hvs kosong.
"Pilih tiga contoh batuan beku dari sampel batuan yang ada di sini lalu tuliskan nama batuannya dan jelaskan proses pembentukannya," ujar Terry tanpa basa basi.
Serta merta Jennie menelan ludahnya gugup. Ia tentu saja hapal batuan apa saja yang termasuk ke dalam jenis batuan beku, hanya saja jika disuruh menunjukan batuannya langsung Jennie tidak tahu. Ia kan hanya menghapal secara teori saja.
Mampus gue. Batin Jennie kebingungan sambil mengamati satu persatu sampel batuan yang ada. Tadinya tak ada satupun batuan yang dikenalnya sampai ia menemukan batuan berwarna hitam kelam yang ia yakini sebagai obsidian. Setidaknya Jennie bisa menjawab satu dengan benar.
Segera Jennie menuliskan obsidian dan dua buah batuan lainnya, meski pada awalnya ia tidak yakin harus mengambil yang mana untuk ditunjukan kepada Terry. Ia juga menuliskan proses pembentukan batuan beku sesuai yang sudah ia pelajari.
"Ini batu marmer gak sih? tapi marmer masuknya metamorf." Jennie bergelut dalam hatinya sewaktu ia menatap batu-batu tersebut. "Duh bodoh banget sih, kenapa gue gak ngapalin gambarnya juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yestoday [END]
General FictionAwal masuk praktikum, Jennie sudah dicap sebagai tukang gosip oleh salah satu asisten praktikum yang ia sebut sebagai titisan medusa. Namanya Terry, si perfeksionis bermulut pedas yang sayangnya dianugerahi wajah tampan luar biasa. Campus Life | Rom...