"Proyeksi peta lo udah kelar Jen?" tanya Momo pagi itu ketika menjemput Jennie ke kosannya untuk berangkat kuliah bersama.
"Udahlah, kan deadlinenya hari ini." Jennie naik ke atas motor dengan kedua tangan penuh memegang gulungan kertas ukuran A1 di tangan kirinya dan stopmap di tangan kanannya.
"Diperpanjang kok sampe rabu. Banyak yang belum kelar soalnya, gue juga belom. Alatnya terbatas sih jadi mesti gantian minjemnya, kemarin gue mau minjem ternyata hari minggu lab tutup."
"Makanya ngerjain tuh dari jauh-jauh hari. Gue begitu dikasih tugas besoknya langsung ngerjain ke lab bareng si Bintang. Lo gue ajakin gak mau sih."
"Gue kira alatnya bisa dipinjem ke kos, ternyata nggak." Momo mulai menjalankan motornya pelan.
"Kalau dibolehin pun males banget bawa-bawa pantograf ke kos."
"Iya dah iya anak rajin mah beda." Jennie terkekeh di belakang.
Sampai di kampus mereka menemukan teman-teman satu rombel praktikumnya tampak berkumpul di depan lab kartografi.
"Kok pada di luar?" Jennie menghampiri mereka dan mengintip ke dalam laboratorium yang masih tertutup rapat.
"Masih dikunci."
"Kak Joshua belum datang? tumben," ujar Momo menanggapi salah satu teman rombelnya, sementara dia hanya mengangkat kedua bahunya tak tahu.
"Komting udah chat kak Joshua belum?"
"Udah Jen, tapi belum diread." Jennie mengerutkan dahinya. Joshua bukan tipe orang yang suka datang terlambat atau menghilang tanpa kabar. Pasti telah terjadi sesuatu.
Di tengah kebingungan itu, sosok Jebi tak sengaja lewat dan berhenti begitu melihat kerumunan rombel Jennie. Ia lantas bertanya kenapa mereka berkumpul di luar bukannya masuk ke dalam dan Jennie lah yang menjawab semua pertanyaannya.
"Bentar gue pinjem kunci labnya dulu." Jebi menghilang dan kembali beberapa menit kemudian dengan sebuah kunci di tangannya.
Begitu laboratorium kartografi di buka, mereka langsung masuk. Kecuali Jennie yang masih di luar untuk mengucapkan terima kasih pada Jebi.
"Coba lo telepon aja orangnya." saran Jebi membuat Jennie tersenyum canggung. Mana berani ia menelepon asisten praktikumnya sekalipun itu Joshua yang terkenal ramah.
Sementara Jebi menghela napas melihat gelagat Jennie. "Tunggu bentar gue telepon dulu."
Cowok itu segera mengeluarkan ponselnya, mencari kontak Joshua di grup asisten praktikum lalu menghubunginya untuk pertama kali. Sejujurnya mereka tidak begitu dekat, hanya sekadar mengetahui nama masing-masing.
"Gimana kak?" tanya Jennie begitu Jebi menyudahi sambungan teleponnya.
"Dia ada kelas tambahan tadi, yang masuk bu Fuji jadi gak bisa megang hape. Horor banget tu dosen, tapi Joshua udah otw ke sini kok."
"Oh, bagus deh. Makasih kak."
"Gini doang ngapain bilang makasih segala."
"Ya nggak apa-apa dong."
Sedikit-sedikit Jennie rasanya mulai bisa memahami Jebi. Meski kadang menyebalkan, tapi dia adalah cowok yang baik dan perhatian. Pantas saja Nayla lebih kepicut dengan dirinya ketimbang Terry yang selalu bersamanya setiap hari.
"Gue duluan kalau gitu." Jennie mengangguk sambil tersenyum. Bersamaan dengan itu Joshua muncul setelah berlari menaiki tangga dan berpapasan dengan Jebi.
Mereka saling melempar senyum sebelum Joshua beralih menyapa Jennie dan masuk ke dalam lab bersama-sama.
"Maaf saya telat, tadi ada kelas tambahan," jelas Joshua dengan raut menyesal. "Kita langsung mulai reviewnya aja ya." Joshua mengeluarkan kumpulan laporan praktikum miliknya yang sudah dijilid jadi satu yang membuatnya terlihat seperti skripsi saking tebalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yestoday [END]
General FictionAwal masuk praktikum, Jennie sudah dicap sebagai tukang gosip oleh salah satu asisten praktikum yang ia sebut sebagai titisan medusa. Namanya Terry, si perfeksionis bermulut pedas yang sayangnya dianugerahi wajah tampan luar biasa. Campus Life | Rom...