BAB 28- Leave You

2.2K 359 37
                                    

I'm Pregnant.

Sebuah kesimpulan yang kuambil saat melihat hasil dari test kehamilan yang dibelikan Caroline tadi. Garis berjumlah 2 yang tertera dalam test pack membuatku hanya bisa termangu duduk di toilet kantor.

Aku benar-benar kebingungan sekarang. Disaat semua wanita yang sudah menikah mengidam-idamkan momen ini, menunggu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hanya untuk bisa melihat anak hasil buah cinta mereka.

Namun disini aku, begitu mudahnya bisa mendapatkan anak tetapi hal itu tak sepenuhnya membuatku bahagia.

Aku bukannya tidak menginginkan seorang anak. Selalu ada dalam bayanganku, bila suatu hari nanti aku bisa melihat versi mini diriku dan Christian berkeliaran di halaman rumah kami, tersenyum bahagia saat bermain bersama dengan ayah mereka.

Namun kenapa sekarang?
Mengapa Tuhan memilihkan waktu ini untuk menitipkanku seorang anak?

Seorang anak yang seharusnya menjadi berkah terbesar dalam hidupku sebagai seorang wanita, tetapi kebahagiaanku seakan terhalangi oleh keadaan yang tidak mendukung.

Apakah mungkin ini pertanda bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk diriku menyerah? Atau Tuhan hanya mengunakan anak ini untuk mengikatku dengan Christian?

Apapun alasan yang Tuhan coba berikan pada diriku seperti tak mampu menjawab semua teka-teki yang berada dalam otakku sekarang.

Bagaimanapun jadinya nanti, aku harus bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi semua ini dengan atau tanpa Christian.

Karena nasi telah menjadi bubur, dan semua terjadi tanpa ada jalan untuk kembali. Aku telah hamil dan aku yakin Christian tidak menginginkan anak ini.

Tidak ada gunanya untuk menyalahkan masa lalu, apalagi dengan merutuki keberadaan anak ini. Aku tak masalah menerima setiap penolakan Christian, namun aku tak cukup kuat untuk mendengar Christian menolak anak ini.

Hal itu seolah mendorongku untuk mengambil suatu keputusan yang mungkin akan kusesali suatu hari nanti. Keputusan untuk meninggalkan semua kekacauan ini tanpa berusaha lagi untuk memperbaikinya.

Saat dulu, aku lebih memilih untuk maju berjuang maka untuk sekarang, aku memutuskan mundur agar tak ada seorangpun dari kita yang terluka. Baik aku, Christian ataupun anak ini.

Akupun menelpon seseorang yang sangat kupercayai. Yang kuyakini pasti mampu menolongku untuk keluar dari situasi ini.

"Halo." sapaku saat kudengar sambungan teleponku tersambung.

"Halo, Elina. Ada apa menelponku?" tanyanya dalam telepon.

"Help me, please." lirihku.

----------------

Christian's POV

Hari ini aku benar-benar tak dapat fokus bekerja. Mengingat beberapa hari belakangan ini, sikap Elina yang begitu berubah membuatku merasa tidak nyaman.

Aku tahu aku penyebab perubahan sikap Elina namun terlalu gengsi untuk meminta maaf. Diriku tak punya keberanian untuk mengungkapkan yang sebenarnya hingga kebohonganlah yang selalu terucap dari mulutku.

Dan tanpa kusadari, hal itu seakan-akan mendorong percepatan kehancuran hubunganku dengan Elina.

"Oihh. man." teriak Jin yang tiba-tiba masuk ke kantorku tanpa izin.

"Kenapa kau kemari?" tanyaku malas sambil kembali bekerja menandatangi surat-surat yang ada dihadapanku.

"Tidak apa-apa, aku dengar istrimu viral sekarang." kata Jin.

WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang