"Tidak bisakah kau mengerti bahwa aku tidak ingin lagi bersama dengan dirimu? Aku masih berharap kita dapat menjadi partner yang baik dalam merawat anak kita nanti. Jadi tolong berhenti sebelum aku semakin membencimu." ujarku lelah dengan semua perdebatan yang tidak ada gunanya ini.
Tidakkah dia mengerti bahwa hubungan kita sekarang ini sudah sama seperti hubungan toxic yang harus diselesaikan? Aku hanya tidak ingin yang tersisa dalam memoriku tentang dirinya hanyalah sebuah kebencian. Aku lelah. Aku benar-benar lelah untuk terus dipermainkan oleh Christian.
"2 bulan. Hanya waktu itu yang kuminta darimu, Elina. Aku ingin membuktikan bahwa aku telah berubah dan aku bisa menjadi suami dan ayah yang baik untuk dirimu dan anak ini. Bantu aku untuk membuktikan hal itu. Bagaimana bisa kau melihatku berubah saat kesempatan saja tidak kau mau berikan pada diriku?" tanya Christian.
"Maaf, Christian. Aku tidak bisa. Pulanglah. Sudah terlalu malam untuk kau tetap disini. Hati-hati dijalan." jawabku sambil meninggalkannya sendiri di sofa ruang tamu.
"Elina, aku mohon." ucap Christian.
"Christian ...." kataku yang terpotong saat aku berbalik ke arah Christian dan melihatnya telah bersimpuh dilantai sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Hatiku benar-benar terasa jatuh saat itu juga. Tangis yang selama ini aku tahan perlahan mulai bermunculan ke permukaan.
Aku kemudian berjongkok di hadapannya dan seketika itu aku mulai menyadari satu hal yang tak kusadari sebelumnya. Dihadapanku sekarang tidak ada lagi Christian yang gagah dan percaya diri. Otot dulu terlihat jelas sekarang sudah terlihat memudar bahkan dalam beberapa bagian tubuhnya sudah tak nampak sama sekali.
Hanya tersisa tubuh yang kurus dan ringkih yang sedang terduduk memohon dihadapanku. Janggut dan kumis yang tipis mulai tumbuh tak terawat dan tak lupa kantung mata yang mulai membayang di matanya.
Aku mulai menjalarkan tanganku dari ujung rambut Christian turun menuju pipinya yang sekarang telah tirus. Secara perlahan aku mulai menghapus air matanya sambil berkata dengan suara yang lembut, "Berdirilah, Christian. Aku harap kau mau mengerti. Ini demi kita bertiga."
Sambil memegang pipiku diapun menjawab dengan suara lirih, "Tidak, Elina. Bila bersimpuh dihadapanmu dapat mengubah keputusanmu, maka aku dengan senang hati melakukannya. Apapun akan kulakukan demi dirimu, Elina."
"Aku minta maaf sayang, aku sadar apapun yang kulakukan sekarang tidak akan bisa menghapus perbuatanku yang menyakitimu. Aku pikir mungkin dengan sengaja merendahkan harga diriku didepanmu dapat membuat merasa lebih lega karena telah kehilanganmu."
"Namun yang kurasakan adalah sebaliknya, Elina. Pukul aku, tampar aku, atau bahkan bunuh aku! Bila hal itu bisa membuatmu merasa lebih baik. Tapi jangan suruh aku untuk melepaskanmu karena aku tidak bisa." sahut Christian dengan tangis yang sudah terkumpul di pelupuk matanya.
Aku kemudian langsung terdiam saat mendengar ucapan Christian. Sambil menghela nafas akhirnya akupun berkata, "Hanya sampai anak ini lahir. Bila saat nanti keputusanku masih sama, maka aku memintamu untuk menghargai keputusanku dengan lapang dada. Bagaimana?"
Raut wajah kesedihan yang ditunjukan Christian seketika berubah bahagia saat mendengarkan ucapanku, diapun langsung memelukku sambil berkata dan tersenyum sumringah, "Thank you, babe. Aku janji tidak akan mengecewakanmu."
"Aku cukup percaya diri bisa mengubah keputusanmu dalam 2 bulan." lanjut Christian sambil tersenyum.
"Jangan terlalu berharap tinggi, Christian. Nanti kalau jatuh, sakit tahu." pintaku.
Sambil tersenyum diapun berkata,"Tidak apa-apa jatuh kalau jatuhnya kedalam dekapanmu."
"Cuihh .... Gombal. Sudahlah aku mau pergi tidur, Christian. Kau juga harus istirahat. Pulang sana!" usirku.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAY
RomanceWill Always Be You "Aku?! Menikah?! Hell, no!" ‐-------------- Bertemu, dijodohkan kemudian saling mencintai dan akhirnya hidup bahagia dengan menikah? Apa memang jalan hidup dibuat segampang itu tanpa adanya lika-liku kehidupan? Tentu saja tidak. ...