"Suster yang ditugaskan untuk merawatku, Christian. Dia kesal saat melihatmu tidur disini." jawabku.
"Biarkanlah dia. Aku juga tidak peduli dengan dirinya yang membenciku. Yang terpenting bagiku adalah kau yang tetap mencintaiku selamanya." kata Christian.
"Pagi-pagi begini sudah gombal. Tak adakah hal lain yang bisa kau lakukan selain menggodaku?" tanyaku dengan nada bercanda.
"Ada..... Memberikanmu ciuman di berbagai tempat. Mulai dari kening...pipi..... dan bibir." jawab Christian sambil memberiku kecupan di kening, pipi dan bibirku.
"Stop, Christian! Aku geli!" kataku sambil berusaha menghindar.
"Kurang? Aku bisa memberimu lebih." jawab Christian sambil menindihku dan mengelitikiku.
"Berhenti, Chris! Aku tidak tahan! Ouwww! Ouwww!" ucapku kesakitan.
"Kamu kenapa? Sakit lagi?! Dimana?" tanya Christian menghentikan aksinya.
"Makanya jangan mengelitikiku, perutku masih sakit." kataku sambil memegangi perutku dan tertawa.
"I'm sorry, Elina. Aku lupa bahwa kau masih terluka." ucap Christian menyesal.
"Aku panggilkan dokter dulu, okay?! Tunggu sebentar disini." lanjutnya sambil bergegas memanggil dokter.
"Tid...." kataku yang terpotong karena Christian yang sudah tidak mendengarkan ucapan dan langsung berjalan keluar dari ruanganku membuatku hanya bisa tertawa melihat kekhawatirannya yang berlebihan. Tak beberapa lama kemudian, Christian kembali bersama dengan seorang dokter.
"Begini, dok. Istri saya mengeluhkan sakit dibagian perutnya. Ini kenapa ya?" tanya Christian khawatir.
"Tenang, pak. Coba saya periksa terlebih duhulu." jawab dokter itu sambil mengambil stetoskop untuk mengecek keadaan.
"Sakit dibagian perutnya adalah hal yang normal, pak. Sudah menjadi hal lumrah bagi pasien untuk merasakan sakit karena dirinya habis mengalami luka tusukan dan operasi caesar secara bersamaan. Diharapkan untuk jangan terlalu banyak bergerak karena dapat membuka kembali jahitannya yang masih belum kering." jelas dokter yang baru kuketahui namanya setelah melihat tag nama yang tertera pada bajunya, Dokter Lee.
"Baik, dok. Bisakah sekarang saya melihat anak saya?" tanyaku.
"Elina, bukankah dokter sudah mengatakan untuk dirimu jangan banyak bergerak? Jadi tidak mungkin bila kau menjenguk anak kita." jawab Christian.
"Tapi kemarin kau sudah berjanji untuk mempertemukanku dengan anak kita hari ini, Christian." rengekku.
"Tidak apa-apa, pak. Saya akan meminta suster untuk membawakan anak kalian kemari. Lagipula ini sudah waktunya bagi mereka untuk mendapatkan ASI langsung dari ibunya. Tidak baik bagi bayi untuk terlalu banyak dikasi susu formula karena asupan gizi bayi yang baru lahir hanya bisa didapatkannya dari ASI ibunya." ucap dokter.
"Dengar itu, Chris! Jadi kau tidak usah melarangku untuk bertemu dengan mereka." kataku kesal dengan sikap Christian yang terlalu melarang-larangku. Apa salahnya dengan berjumpa dengan anakku walau hanya sebentar? Lagipula aku juga tidak akan langsung mati bila berjalan.
"Aku bukan melarangmu, Elina. Tapi kau dalam kondisi kurang fit untuk bisa berjalan." ucap Christian.
"Kau terlalu berlebihan, Chris!" kesalku.
Perdebatan kita kemudian terhenti saat suster telah membawa kedua anak kami ke ruang rawat inapku. Aku yang pertamanya diliputi dengan kekesalan melihat sikap Christian yang overprotective kepadaku seketika langsung berubah bahagia saat melihat wajah kedua bayiku. Bayiku yang masih begitu kecil dan rapuh dengan kulit yang masih berwarna kemerah-merahan.
Suara tangis mereka yang langsung terdengar saat mereka memasuki kamar inapku dan dalam hitungan detik suara itulah yang memenuhi setiap sudut ruangan ini. Kupandangi satu per satu muka bayiku hingga tanpa aku sadar, air mata kebahagiaan mulai membasahi wajahku. Aku ingin sekali menyentuhnya, memeluknya, memberinya kasih sayang. Namun serasa hal itu masih belum bisa kulakukan karena keadaan mereka yang masih berada dalam incubator.
"Mereka terlihat sangat kecil, Christian." kataku diselingi tangis.
"Ya, dan mereka mirip sekali dengan kita." ucap Christian.
"Apa aku boleh memegang mereka?" tanyaku pada suster.
"Silahkan, tapi hanya sebentar ya." jawab suster yang kemudian mengeluarkan satu bayi yang terbalut kain berwarna pink dari incubator.
"Sekalian, anda bisa menyusuinya karena sedari tadi mereka menangis meminta susu namun belum saya berikan karena saya pikir anda sendiri yang akan memberikannya pada mereka." lanjut suster itu sambil membantuku untuk merangkul Quin.
Quinsha Auristela Alterio. Nama yang kita berikan pada anak kedua kami. Anak perempuan yang mempunyai fitur yang sangat mirip dengan ayahnya. Setiap inchi dari wajahnya akan selalu mengingatkanku pada seorang Christian. Pria yang mampu mendebarkan hatiku saat dirinya berada disampingku.
Setelah mendengar instruksi suster yang mengajariku cara yang benar untuk menyusui, akupun mulai mempraktekkan satu per satu langkah itu agar dapat memberikan makanan pada Quin yang terlihat sangat kelaparan sekarang. Setelah kurasa Quin telah kenyang dan tertidur, sekarang giliran Alexander Kyler Alterio atau Al untuk mendapatkan ASI dariku.
Sambil aku menyusuinya, akupun mulai meraba-raba mukanya yang sama persis dengan Christian saat kecil. Seperti duplikatnya Christian. Aku sedikit kesal karena tak satupun mereka memiliki muka yang sama denganku, baik itu hidungnya ataupun matanya. Semuanya fitur didapatkan dari ayahnya dan buka diriku.
"Kenapa tak satupun dari mereka yang mirip denganku?" tanyaku kesal.
"Karena aku juga turut membantu untuk membuatnya." jawab Christian santai.
"Tapi aku yang mengandung selama 9 bulan dan melahirkan mereka." sanggahku.
"Mungkin karena mereka menginginkan adik yang nantinya mirip dengan ibunya." canda Christian.
"Memangnya kau pikir aku ini pabrik? Yang bisa diatur dan di setting untuk memiliki anak yang mirip siapa? Mau anak kita mirip dengan siapa, pokoknya aku tidak mau lagi untuk punya anak lagi. 2 anak sudah cukup bagiku." tegasku.
"No! Kita masih harus mempunyai 2 anak lagi yang mirip denganmu." ujar Christian.
"Kau pikir melahirkan anak itu mudah?" kesalku.
"Buatnya yang mudah." canda Christian sambil tertawa.
"Ehmm Ehmmm.... Ini sudah waktunya bagi mereka untuk kembali ke incubator, Eliana-ssi." potong suster itu sambil berdehem.
"Memangnya kenapa? Aku masih ingin berlama-lama dengan mereka." rengekku.
"Untuk sekarang pertumbuhan mereka masih belum terlalu sempurna, Eliana-ssi. Mungkin setelah 1-2 minggu baru mereka bisa keluar dari incubator." jelas suster.
"Baiklah." jawabku pasrah.
Suster Min-pun mulai mengambil Quin dari pelukan Christian lalu mengembalikan Quin pada incubator dan kemudian mengambil Al dari dekapanku dan memasukannya kedalam incubator. Raut wajahku langsung berubah sedih setelah melihat kedua anakku yang semakin lama semakin dibawa menjauh dari penglihatanku hingga keberadaan mereka tak bisa kupandang lagi.
"Kenapa waktuku dengan mereka sangat sebentar padahal aku masih ingin bersama dengan mereka? Ini semua salahku karena tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Aku harusnya bersyukur karena mereka masih selamat, Tapi mengapa susah sekali untuk bisa kulakukan?." lanjutku sambil menangis.
"Sabar, Elina. Ini semua adalah salahku karena tidak mengetahui bahwa ada orang yang sedang mengancam nyawa kalian. Jangan terus sedih begini, kau membuatku semakin menyalahkan diriku sendiri. Hanya perlu menunggu 1 minggu dan mereka bisa terus disamping kita, Elina. Tenang saja, aku tidak akan membiarkan kau ataupun mereka dalam bahaya lagi. Aku akan pastikan dia akan kubuat merasakan akibat dari perbuatan yang sudah berani menyakitimu." ujar Christian.
"Dia? Apa kau sudah tahu siapa dalangnya?" tanyaku.
"Maafkan aku, karena aku membiarkan Vanessa menyakitimu." ujar Christian
"Vanessa? Wanita ular itu lagi. Mengapa dia tak menghilang saja dari muka bumi ini?" ujarku dalam hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAY
RomanceWill Always Be You "Aku?! Menikah?! Hell, no!" ‐-------------- Bertemu, dijodohkan kemudian saling mencintai dan akhirnya hidup bahagia dengan menikah? Apa memang jalan hidup dibuat segampang itu tanpa adanya lika-liku kehidupan? Tentu saja tidak. ...