Setelah ucapanku barusan, Christian tak lagi berusaha memulai pembicaraan lagi denganku. Akupun merasa sedikit sedih melihat raut wajah kecewa Christian. Ingin rasanya aku memberikan kesempatan lagi untuknya.
Namun saat aku melihat dirinya yang menyerah begitu saja, membuatku merasa keputusan yang telah kuambil sudah benar. Mengapa? Karena menurutku, untuk apa kembali dengan orang yang tak bisa berjuang untuk kita.
Aku disini bukan ingin sok jual mahal, hanya saja hatiku belum merasakan kesungguhan Christian yang membuatku merasa yakin untuk memberikannya kesempatan.
Aku tidak ingin lagi tersakiti untuk kedua kalinya saat aku memilih untuk kembali dengannya. Untuk apa kembali bila pada akhirnya kita juga merasakan hal yang sama lagi? Hidupku terlalu singkat untuk kuhabiskan dengan menangis.
Saat aku sedang asyik menikmati makan siangku dengan Christian yang masih duduk terdiam tanpa berniat mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba saja, suara nada dering smartphone-ku berbunyi begitu kencang memecahkan kehaningan di ruang makan dan membuatku terkejut kaget karena yang menelponku adalah Taylor. "What the hell?! Why now, Taylor?" pikirku.
"Jika aku mengangkat telepon ini, maka bisa kupastikan Christian langsung bisa tahu bahwa Taylor-lah yang membantuku melarikan diri selama ini. Tapi bila aku tidak angkat teleponnya, sudah pasti Christian akan curiga mengapa aku tidak angkat. Ya Tuhan, Aku harus bagaimana?" tanyaku dalam hati.
"Kenapa kau tidak angkat teleponnya, Elina? Bukankah yang menelpon itu adalah Taylor? Apa kau sedang tidak ingin berbicara dengannya? Kalau memang begitu, biar aku saja yang angkat." tanya Christian sedikit curiga.
"Jangan....." sebelum aku selesai berbicara, Christian sudah menekan tombol "Answer" dan men-speaker-nya. "Mati aku." kataku dalam hati.
"Halo, Elina. Bagaimana kabarmu disana? Apa kau dan kandunganmu baik-baik saja? Maaf aku tidak bisa kesana untuk sementara waktu karena papamu masih memintaku untuk mengurusi masalahnya disini. Kau tidak pergi kemana-mana-kan?" tanya Taylor dalam sambungan telepon yang langsung membuat raut wajah Christian berubah menjadi marah.
Aku yang hanya bisa terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa dan sedikit takut dengan reaksi Christian setelah ini. "Kenapa kau memilih waktu ini untuk menelponku, Taylor? Harusnya nanti saja, saat sudah tidak ada Christian disini." kataku dalam hati.
"Ehmm..... Iya, Taylor. Aku tidak apa-apa. Tadi aku baru selesai mengambil pakaian diluar jadi belum sempat untuk menjawabmu." kataku gugup.
"Baguslah kalau begitu. Aku tadi khawatir kalau terjadi apa-apa dengan dirimu saat aku tidak berada disana. Perutmu sudah tidak sakit lagi, kan? Dan bagaimana kabar anakmu? Apa masih suka menendang saat malam hari?" tanya Taylor.
"Sudah tidak, Taylor. Thanks for worrying about my health." jawabku.
"Sama-sama, Elina. Ohh Iya, Kapan tanggal kamu melahirkan? Bila nanti sempat, aku akan kesana untuk menemanimu melewati proses lahiran. Aku yakin kau pasti takut bila melewati semua itu sendiri." ucap Taylor.
"Tanggal....." kataku.
"Tidak perlu, Taylor. Kurasa aku sudah cukup untuk mendampingi Elina melewati proses lahiran anak kita nanti. Tidak perlu ada kau yang menemaninya. Tetapi terima kasih sudah mau membantu. Tapi kurasa bantuanmu tidak diperlukan dalam hal ini." potong Christian dengan nada datar.
"Elina? Siapa itu? Apa sedang ada tamu di apartemen? Christian tidak menemukanmu, kan?" tanya Taylor bingung.
"Bukan tamu, tapi saya, Christian Illarion Alterio. Suami dari wanita yang kau sembunyikan selama ini. Aku tidak........." jawab Christian marah.
"Cukup, Christian. Maaf, Taylor. Tapi aku rasa kita lebih baik berbicara dilain waktu saja. Aku harap kau mengerti. Aku tutup dulu, ya. Bye." potongku berusaha menghentikan perdebatan sebelum perdebatan ini menjadi semakin memanas .
"Jadi yang menyembunyikanmu selama ini adalah Taylor?" tanya Christian sarkas.
"Jangan apa-apakan Taylor, Christian. Taylor tidak salah disini. Aku yang salah. Aku yang meminta dia untuk membawaku pergi. Dia sudah berusaha untuk melarangku tetapi aku kekeh ingin pergi." jawabku membela Taylor.
"Tenang saja, aku berjanji tidak akan melukainya." ujar Christian.
"Tapi kau tak bisa melarangku untuk tidak marah pada dirinya, Elina. Aku marah karena dia selama ini pura-pura tidak tahu dimana keberadaanmu padahal saat itu aku sudah kocar kacir mencarimu kemana-mana. Aku juga kesal dengan dirinya yang bersikap seolah-olah dirinya telah mengambil tempatku untuk menjadi suami untukmu. Aku tidak mau. Aku tidak rela. Bila dia berhasil mencuri hatimu yang seharusnya menjadi milikku seutuhnya." lanjut Christian.
"Christian, dengarkan aku. Taylor itu sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Kita telah tumbuh bersama dan aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang selalu khawatir dengan diriku. Dia adalah orang pertama yang selalu kudatangi saat aku dalam masalah, Christian."
"Alasan dia tidak memberitahumu karena dia tahu bahwa aku begitu mempercayai dirinya. Dia hanya tidak mau merusak kepercayaanku padanya." ujarku mencoba menenangkan amarah.
"Tapi dia berusaha mengambilmu dariku." sanggah Christian.
"Taylor tidak akan pernah menjadi suamiku, Christian. Suamiku hanya dirimu. Walau memang sebentar lagi kita akan bercerai." ujarku.
"Tak bisakah kita tidak usah bercerai? Aku janji, Elina. Aku tidak akan melukaimu lagi." kata Christian sambil memohon.
"Maaf, Christian. Tapi keputusanku telah bulat. Aku masih tetap ingin bercerai darimu." putusku.
"I'm sorry, but i don't want to be hurt anymore." ucapku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAY
RomanceWill Always Be You "Aku?! Menikah?! Hell, no!" ‐-------------- Bertemu, dijodohkan kemudian saling mencintai dan akhirnya hidup bahagia dengan menikah? Apa memang jalan hidup dibuat segampang itu tanpa adanya lika-liku kehidupan? Tentu saja tidak. ...