bagian 4

24.6K 1.9K 68
                                    


🌾Selamat membaca


Setelah berbicara cukup panjang dengan dokter tersebut, zidan akhirnya kembali ke ruang rawat adiknya. Perkataan dokter tadi sangat membuatnya gelisah. Bagaimana tidak, kondisi rafa tak bisa dikatakan baik setelah apa yang ia lakukan.

//

-Flashback on-

Zidan menepati janjinya untuk menemui dokter yang menengani rafa tadi. Ia perlahan membuka pintu putih tersebut. Sang dokter ternyata sudah menunggunya cukup lama.

"Maaf saya telat dok." Ujar zidan sambil duduk didepan dokter tersebut.

"Tidak apa-apa." Jawab dokter itu sambil tersenyum kepada zidan.

"Kalau boleh tau, ada apa ya dok?" Zidan memulai perbincangan itu.

"sebelum saya menjelaskannya saya mau menanyakan sesuatu pada kamu, apa kamu tau penyebab adik kamu bisa seperti ini? Memarnya bukan hanya di kepala, tapi juga didadanya." Tanya dokter itu kepada zidan yang tampak cukup terkaget atas pertanyaan yang dokter itu sampaikan.

"N-n-nggak dok." zidan terpaksa berbohong saat ini.

"jadi ada salah satu organ dalam rafa yg rusak karena pukulan yang lumayan keras itu, dan tepat mengenai paru-parunya, jadi kemungkinan besar rafa tidak bisa bernafas seperti biasa." jelas dokter itu dengan helaan nafas di akhir kalimatnya.

Zidan terdiam sejenak. Tak tahu apa yang harus ia katakan. Ia menyebabkan semua ini. Namun lamunan itu ia akhiri segera.

"S-s-saya h-harus gimana dok?" Tanya zidan dengan gugup.

"Saya sudah berbicara dengan dokter bedah, dan kami sepakat untuk melakukan tindakan operasi guna memasang selang di paru-paru adik kamu." Jawab dokter itu dan sukses membuat zidan kembali terdiam untuk kedua kalinya.

-Flashback off-

//

Zidan lalu mendekat ke arah sang adik. Pucat, Satu kata yang mendeskripsikan Rafa kini. Melihat dada sang adik yg turun naik dengan cepat, membuatnya juga merasa sesak. Belum lagi selang yang bertengger di hidung Rafa, semakin membuatnya risih atas apa yang ia lakukan.

"Gua mau bicara sama lo, jadi tolong lo bangun dulu!" Ujar Zidan seraya mendudukkan tubuhnya di samping brankar Rafa.

Sunyi itu masih menyelimuti zidan dan rafa. Biasanya saat zidan berbicara seperti ini, Rafa akan mengatakan "maaf". Tapi kali ini berbeda. Tak ada sautan sama sekali.

   Ceklek...

"Permisi!" salah satu suster datang membawa infus ulang sang adik.

"Eh iya sus." Zidan yang kaget lantas berdiri di belakang suster tersebut yang sedang mengganti infus rafa.

"Nanti kalau infusnya habis lagi, kamu bisa panggil perawat yang jaga." Ujar suster itu.

"Hmm... Kalo boleh tau adik saya kapan bangun ya?" Tanya Zidan saat melihat suster itu membereskan barang yang dibawanya tadi.

"Ngga usah khawatir, sebentar lagi pasti bangun kok. Saya permisi dulu ya?" Suster itupun melangah

"Makasih sus." Jawab zidan.

Tak disangka saat ia menatap kepergian suster itu, sang adik mulai menunjukkan tanda bahwa ia akan sadar. Mata jernih itu beberapa kali mengerjapkan matanya. Tangannya pun  perlahan ia gerakkan sebisanya.

"Kak..." ucapnya dgn lemah bahkan hampir tak terdengar

"Eh lo udh bangun?" Kini Zidan berada disamping Rafa.

"Sakit..." Kata yang Rafa ucapkan dengan susah payah.

"Gua panggilin dokter apa gimana?" Tanya Zidan yang setia dengan wajah dinginnya itu. Namun Rafa hanya menggeleng.

"Hah... Kalau ada apa-apa bilang sama gua!"

Kini Zidan beranjak ke sofa yang ada di sudut ruangan. Lalu mengeluarkan handphonenya. Hening itu membuat Rafa tak betah sama sekali. Hingga percakapan yang tak penting itu tercipta.

"Kakak masih marah sama Rafa?" kalimat itu tiba tiba keluar dari mulut rafa.

Namun jawaban sama sekali tak rafa dapatkan. Malah yang menjawab hanya sepi. Zidan tampak diam dan terus memainkan handphonenya tanpa ada niat untuk menjawab pertanyaan afiknya itu.

"Uangnya bakal Rafa ganti kalo gitu." Saut rafa kembali dengan nada yang lirih.

"Sorry." zidan mengucapkannya tanpa menoleh ke arah rafa. Rafa yang kaget lantas menatap kakaknya bingung.

"M-m-maksud kakak?" Rafa bingung mengapa kakaknya tiba tiba meminta maaf seperti ini kepadanya.

"Yang ambil duit gua Edo, sorry gua salah paham sama lo." masih terdengar dingin tapi Rafa dibuat senang oleh kalimat tersebut.

"Ngga pa-pa, Rafa ngerti kok. Lagian Biasanya kakak juga nyakitin Rafa. Ngga perlu minta maaf." ucapan itu langsung menusuk ke hati zidan.

"Lo ngomong apaan sih? Mending lo istirahat sekarang!" tegasnya.

"Kakak juga, rafa yakin kakak pasti capek ngurusin Rafa." Rafa mencoba menahan tangisnya. Zidan yg mendengar itupun kembali menatap mata sang adik yg mulai berkaca-kaca.

"Dasar cengeng." terdengar ketus tapi terselip khawatir dihatinya.

Isakan itu mulai terdengar. Rafa tak sanggup menahan tangisnya. Ia sudah lelah dengan semua ini. Slalu merepotkan kakaknya, padahal ia tau zidan muak dengan kehidupannya.
Zidan kembali melirik ke sang adik, ia mencoba mengalahkan egonya dan  berjalan mendekati brankar rafa.

"Lo adik gua, jadi udah sepantasnya lo ngerepotin gua sebagai kakak lo." Ujarnya dengan nada yang masih terbilang dingin.

Rasanya Rafa tak percaya atas apa yang kakaknya itu ucapkan. Terselip secercah harapan dihatinya ketika kaliamat itu terucap.

"Jangan bikin Rafa berharap, kak."

























"Gua bikin dia terlalu berharap sama gua."


























[TBC]

Makasih yang udah baca, vote dan komen. Maaf yaa kalo banyak typonya hehehe😅

Semoga bisa nemani waktu baca kalian!!💜💜

MAKASIH BANYAAAK💜💫

*kalau masih ada kesalahan setelah direvisi, tolong dikoreksi yaa😉

P L E A S E! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang