bagian 30

13.3K 976 27
                                        



🌾Selamat membaca


Keinan memarkirkan mobilnya dihalaman depan rumah Zidan. Jujur ia terpaksa kembali ke tempat ini. Ia menghela nafas sejenak lalu memantapkan dirinya untuk masuk ke rumah itu. Ini semua bukan kehendaknya, melainkan kemauan ibunya.

Tok

Tok

Tok

"Assalamualaikum!" Sautnya seraya mengetok pintu yang ada didepannya kini. Belum ada sautan sama sekali. "Assalamualaikum!" Ujarnya sekali lagi, hingga langkah kaki terdengar mendekat ke arah pintu.

Ceklek...

"Keinan?" Rafa membuka pintu itu perlahan dan mendapati sahabatnya tengah menatapnya aneh. Ia hanya dapat tersenyum menyaksikan Keinan yang tiba-tiba muncul.

"Ikut gua! Lo harus minta maaf ke nyokap gua, ayo!" Ujarnya sambil menarik tangan Rafa secara tiba-tiba. "T-ta-tapi itukan bukan -" Ucapan itu terhenti saat Keinan menarik tangannya paksa ke arah parkiran mobil di halaman rumahnya. Memaksa tubuhnya untuk masuk lalu melajukan mobil itu menjauh dari pekarangan rumah Rafa.

"Gua ngga mau dengar omong kosong lo lagi." Ujar Keinan datar tanpa menatap Rafa yang sudah mati ketakutan itu. "Itu bukan salah Rafa, Kei." Jawabnya dengan sedikit gugup.

Ckiiiitt

Mobil itu Keinan pinggirkan secara mendadak dan membuat Rafa terkaget atas tindakan sahabatnya tadi. Bahkan kepalanya terhantuk dengan kaca yang ada disampingnya tersebut. "Mau nyangkal berapa kalipun lo ngga bakal bisa, Fa. Apa susahnya sih minta maaf." Nada dingin Keinan mulai terdengar membuat Rafa kembali tertunduk.

Perjalan itu kemudian mereka lanjutkan setelah itu. Hingga tak lama, sampailah mereka di hunian tempat Keinan dan mamanya tinggal. Rafa tampak terdiam saat Keinan memarkirkan mobil silvernya itu dibagasi rumahnya.

"Masuk! Mama gua udah nunggu di dalem." Keinan mendahului Rafa yang masih menunduk tersebut. Tak ada cara lain, ia terpaksa harus meminta maaf atas apa yang tak ia perbuat sama sekali.

"NGAPAIN DIEM, AYO MASUK!!" Bentakan itu sontak membuat Rafa menganggukkan kepalanya lalu berjalan keluar mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah Keinan. Di sana Fitri tengah duduk sambil meminum secangkir teh sambil menonton televisi.

"Ma! Nih anaknya." Fitri yang merasa terpanggilpun menoleh ke atah sang anak. "Rafa? Ayo sini nak, dekat tante." Ia kembali memainkan perannya. Fitri berujar sambil tersenyum manis pada laki-laki yang tengah menunduk tersebut.

"Ngga usah deket-deket, gua ngga mau mama gua celaka lagi." Ucap keinan sambil menahan tangan Rafa yang mencoba mendekat ke Fitri.

"Keinan? Ngga boleh gitu. Dia sahabat  kamu lho, masa ngomongnya gitu." Fitri kembali menyaut dengan nada tenangnya. Padahal hatinya tengah tertawa penuh kemenangan sekarang. Semua rencana yang ia harapkan ternyata berhasil.

"Tapi ma.."

"Udah, ngga pa-pa. Rafa kenapa kesini?" Fitri mulai bertanya pada Rafa yang sudah duduk di sampingnya. Ibu sahabatnya itu tampak beberapa kali mengusap punggung Rafa pelan. Tentu saja itu senua hanya akting belaka.

"Minta maaf sekarang!!" Perintah Keinan yang melihat Rafa hanya diam dari tadi.

"M-m-maaf, maaf tante." Rafa dapat melihat kepalsuan di dalam mata Fitri saat itu. Bahkan Rafa dapat melihat, mata yang tengah ia tatap itu penuh dengan kebencian. "Ngga pa-pa, kemaren kamu ngga sengajakan? Udah. Lagian tante udah baik-baik aja kok." Ucap Fitri sambil menepuk bahu Rafa sesekali.

Mereka bertiga lalu mengobrol bersama, walau Rafa merasa tak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.

"Rafa kenapa diem?" Fitri yang tadi tengah mengobrolpun melirik ke Rafa yang hanya menyimak pembicaraan antara ibu dan anak itu.

"Ngga tante, Rafa ngga pa-pa." Jawab Rafa seadanya.

"Ayo dong, ngga usah ngerasa bersalah. Kan udah tante maafin." Kata itu benar-benar membuat Rafa jengah mendengarnya. "Maaf tante, Rafa kayanya mau pulang aja." Rafa lalu berdiri lalu menghadapkan badannya ke Keinan.

"Kenapa liatin gua. Pulang sendiri aja, gua mau istirahat." Rafa tak bisa berbuat apa-apa. Ia lalu melangkahkan kakinya keluar. Siang ini matahari begitu terik.



//

Untungnya Rafa masih ingat letak rumahnya, walau beberapa kali ia harus salah jalan. Kini ia sedang beristirahat di depan toko buku. Kakinya benar benar sudah pegal. Hampir 20 menit ia berjalan tanpa henti.

"Hah... Haus."

Ia melihat sekelilingnya, disebelah kanannya ada sebuah minimarket, Namun masalahnya kini ia tak membawa uang sepeserpun. Bagaimana caranya untuk membeli minum? Badannya sudah terlampau lelah, ditambah pusing yang tiba-tiba menyerang.

Setelah cukup beristirahat, ia lanjutkan jalannya untuk segera sampai ke rumah agar dapat mengisirahatkan tubuh lemasnya itu.
Namun ketika baru ingin melangkah, tiba-tiba tangannya ditarik ke samping hingga badannya terhuyung.

"Lo kemana hah?!" Ternyata Zidan. Syukurlah sang kakak ada disini. Walau raut kemarahan kentara diwajahnya. "Tadi...Rafa..." Tubuh itu sudah limbung terlebih dahulu ke arah Zidan. Dengan sigap Zidan memeluk adiknya yang sudah bermandikan peluh itu, lalu mengangkat Rafa ke mobilnya yang ia parkirkan tak jauh dari sana.

//

Sesampainya di rumah...

Setelah mengganti pakaian sang adik, kini Zidan menyiapkan kompresan karena tiba tiba Rafa terserang demam tinggi. Selama perjalanan, Rafa terus menerus memanggil namanya. Ia tak tahu-menahu kenapa Rafa bisa berjalan sejauh itu dengan kondisi yang belum bisa disebut baik.

"Lo kenapa sih? Udah tau hari lagi panas." Sambil meletakkan handuk yang sudah dibasahi itu ke kening sang adik. Rafa masih tampak terpejam. Zidan beberapa kali mengusap keringat adiknya yang turun dari kening Rafa. mengurut tangan dan kakinya yang terasa dingin.

"Kak, Haus." Rafa tiba tiba membuka matanya. Zidan yang mendengar itu dengan sigap memberi air yang sudah ia siapkan lalu memberinya ke Rafa yang baru tersadar itu.

"Lo bego atau gila sih? Udah tau panas terik. Kemana lo tadi?" Zidan bertanya ke Rafa dengan nada yang terdengar kesal tersebut.

"Rumah Keinan." Jawab Rafa dengan singkat.

"Rumah Keinan? Terus kok jalan?" Tanya Zidan lagi seraya mengintrogasi sang adik.

"Keinan ngga mau antar Rafa pulang, kak." Ntah mengapa Zidan merasa ingin memukul sesuatu saat mendengar penjelasan Rafa. Bagaimana bisa Keinan setega itu membiarkan Rafa pulang seorang diri. Bahkan rumahnya dengan rumah Zidan bisa dikatakan jauh.

"Yaudah, istirahat." Zidan beranjak keluar dari kamar sang adik. Rafa menatap Zidan yang mulai menjauh itu dengan sirat sendunya.

"Kak!" Panggilan itu membuat langkahnya terhenti.

"Hmm."

"Makasih."



























[TBC]

Jadi aku mau ngejelasin sesuatu disini, banyak banget yang komen dari kemarin minta dipanjangin per-bagiannya, jujur ngerevisi itu jauh lebih susah dibanding ngebuat cerita baru sayang. Harus ngatur ini itu biar pas😔 jadi ngga bisa seenaknya bisa dipanjang pendekin.
Maaf banget ngga bisa nurutin kemauan kalian huhuhu😭

Makasih yang udah baca, vote dan komen jugaa😚😘

MAKASIH BANYAAAAAK💜💫

*kalau masih ada kesalahan setelah direvisi, tolong dikoreksi yaa😉

P L E A S E! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang