bagian 26

10.7K 983 72
                                        

🌾Selamat membaca


Zidan terbangun siang itu tepat jam 11 siang hari itu. Ia mencoba mengerjapkan matanya berkali-kali guna menghilangkan pusing yang sesekali hinggap dikepalanya. Setelah ia rasa pusingnya reda, Zidan mengedarkan pengelihatannya ke sekeliling kemarnya. Ia baru menyadari bahwa sang adik kini tengah tertidur tepat berada di sampingnya. Zidan juga melihat nampan berisi bubur dan air hangat beserta handuk di atas nakasnya.

Tangan Zidan yang dijadikan bantalan kepala Rafa mulai terasa kebas, iapun mencoba mengangkat kepala adiknya itu namun karena melihat Rafa yang tidur dengan lelap, membuat Kegiatannya itu ia hentikan lalu menghela nafas sejenak. Zidan lalu kembali menatap Rafa dan baru menyadari terdapat luka yang memerah dikepala Adiknya itu.

"Kenapa luka?" Tanya Zidan seorang diri sambil memegang luka itu.

Namun segera ia singkirkan tangannya itu dari kening sang adik ketika ia baru teringat permasalahan adiknya itu yang belum selesai. Dengan segera Ia bangunkan Rafa dengan kasar tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"HEH, BANGUN!! NGAPAIN SIH LO TIDUR DISINI?!" Suruhnya kepada sang adik yang tampak masih mengerjapkan matanya sesekali "Eungh.. Kakak udah bangun?" Itulah yang ia tanyakan pertama kali saat melihat Zidan yang sudah bangun disampingnya.

"LO PUNYA MATAKAN?! KENAPA NANYA??! SEKARANG KELUAR! GUA MAU ISTIRAHAT." Zidan menyeret tubuh Rafa yang masih lemas itu keluar dari kamarnya. "Kak sakiit." Adunya pada sang kakak karena lengannya yang ditarik kasar oleh Zidan. Tapi seruannya itu seakan tak diindahkan oleh Sang kakak.

"Jangan berani masuk ke kamar gua lagi. DENGER??!" bentakan itu sukses membuat air mata itu jatuh. Namun segera ia hapus dengan punggung tangannya. "PERGI LO!!" Zidan langsung menutup pintu kamarnya  dengan keras dihadapan Rafa yang tengah menunduk itu.

"Kak, jangan lupa makan buburnya. Kalo udah dingin nanti Rafa panasin lagi." Hancur sudah semuanya. Rafa bersimpuh di depan kamar kakaknya sambil sesekali menyeka air mata yang terus turun dari pelupuk matanya.

Setelah cukup lama berdiam disana, Rafa memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ia kunci pintu tersebut lalu mendudukkan dirinya dibelakang pintu yang sudah terkunci itu. Mengadukan semua keluh kesalnya rasakan pada tuhan.

"Kenapa semuanya jadi kaya gini? Kenapa masalahnya makin sulit?" Tanyanya seorang diri. Ia tenggelamkan wajahnya dilipatan lutut dan tangannya itu. Terisak beberapa kali sambil memejamkan matanya. Karena merasa lelah, Rafa putuskan untuk mengistirahatkan badannya kembali. Ia harus menyiapkan energi untuk apa yang terjadi nanti.


//

Fitri sudah dibolehkan pulang oleh pihak rumah sakit setelah pergelangan tangannya yang terluka itu mulai membaik. Ia cukup puas memainkan perannya di hadapan sang anak. Apalagi melihat Rafa yang semakin dijauhi semakin membuat Fitri yakin, permainannya akan sukses.

"Mama ngapain ngelamun? Tangannya sakit lagi?" Tanya keinan yang baru saja membayar biaya perawatan sang ibu diresepsionis.
"Eh ngga kok. Mama lagi mikirin Rafa, mama ngga nyangka dia ngelakuin itu ke mama. Padahal mama ngga ngelakuin apa-apa sama dia." Ia kembali berlagak benar. Keinan yang tak tahu menahu pun kembali tersulut emosinya.

"Udahlah ma, Ngga usah dipikirin tuh anak. Mama juga ngga usah dekat-dekat lagi sama dia." Perintah Keinan dengan nada yang terdengar dingin dan berusaha menahan emosi yang tersulut setelah mendengar nama Rafa tersebut.

"Tapi..."

"Ma, ini demi keselamatan mama. Dia bisa aja bertindak lebih dari ini. Pokoknya kalau mau keluar, perginya sama Keinan." Ujar Zidan sambil tersenyum manis pada ibunya itu yang juga tengah tersenyum penuh kemenangan.

"Apa ini ngga berlebihan, Kei?" Tanya Fitri yang tengah berakting sedih itu. Bahkan air mata buayanya masih sempat ia keluarkan. "Keinan ngga mau mama kenapa-napa lagi. Udah cukup yang kemarin, ma." Jawab Keinan sendu. Fitripun mengelus pundak sang anak lalu menganggukkan kepalanya.

"Yaudah, sekarang kita pulang ya? Biar mama bisa istirahat dirumah." Keinanpun menuntun Fitri keluar dari rumah sakit.

//

Zidan mendudukkan badannya di tepi jendela kamarnya, melihat langit sore yang membuat pikiran Zidan sedikit nyaman. Langit orange ke unguan itu sangat indah, pikirnya. Namun ia baru sadar, semenjak Ia membentak Rafa tadi, sang adik tak kunjung tampak bahkan lewat didepan kamarnya. Ia memijat perlahan pelipisnya sambil menggerutu tak jelas.

Ia kemudian mengambil bubur yang dibuat Rafa untuknya tadi, lalu ia membawanya ke dapur untuk dihangatkan. Setelah 10 menit dipanaskan, ia membawa kembali nampan berisi bubur dan air putih tadi ke lantai atas. Bukan ke kamarnya melainkan ke kamar Rafa, adiknya.

Tok

Tok

Tok

Pintu itu masih tertutup rapat, ia coba untuk membukanya namun terkunci. Biasanya bila Rafa mengunci diri dikamar, itu pertanda bila ia ada masalah dan butuh seseorang untuk membantunya bangun dari keterpurukannya tersebut. Tak ada cara lain, Zidanpun mulai memukuk keras pintu itu sambil berteriak.

"RAFA! KELUAR LO!" Tak ada sautan sedikitpun dari dalam kamar tersebut. "RAFA JANGAN SAMPAI GUA DOBRAK NIH PINTU! BUKA NGGA!?" teriaknya kembali dengan sedikit ancaman yang ia berikan.

"RAFA!"

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Ia letakkan bubur yang dibawanya tadi lalu berancang-ancang mundur untuk mendobrak pintu tersebut. Namun ketika ia besiap untuk berlari ke arah pintu kamar Rafa, pintu itu sudah dibuka terlebih dahulu oleh sang pemilik kamar.

"Kakak kenapa?" Tanya Rafa dengan nada sendu tak bertenaga. "Gua ngga mau lo lepas tanggung jawab dan biarin lo mati gitu aja sedangkan urusan lo disini masih banyak." Sambil memberi bubur yang ia hangatkan tadi pada Rafa yang menatapnya aneh saat ini.

Rafa merasa bingung melihat tingkah kakaknya, di satu sisi Zidan ingin dekat dengannnya namun di sisi lain Zidan juga menyuruh rafa untuk menjauh.

"Rafa bingung sama kakak, kak Zidan mau Rafa gimana? Waktu Rafa datang kakak nyuruh Rafa pergi, tapi sekarang?" Perkataan itu seketika membuat Zidan bungkam. "Ngga usah bacot lo!" Jawab Zidan dengan sargasnya.

"Kakak bikin Rafa berharap." Ujar Rafa kembali dengan air mata yang mulai menggenang diujung matanya.
Zidan yang melihat itupun mengalihkan pandangannya agar tak menatap mata yang berkaca-kaca tersebut.

"Setidaknya gua ngga nyuruh lo pergi. Cukup menjauh aja dari gua." Setelah mengucapkan hal itu Zidanpun meletakkan nampannya yang ia bawa tadi diatas lantai lalu beranjak pergi.

Rafa kembali dibuat bingung, kakaknya tak mau ia pergi. Tapi kakaknya ingin ia menjauh. Bukankah itu sama saja, pikir Rafa.


































[TBC]

Maaf kelamaan up-nya. Salahin mood aku yaa, ngga mau nurut dianya huhuhu😔

Makasih yang udah baca sampai sini, udah vote dan ngekomen juga😘😚

MAKASIH BANYAAAAAK💜💫

*kalau masih ada kesalahan setelah direvisi, tolong dikoreksi yaa😉

P L E A S E! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang