26• YES I DO

136 23 55
                                    


R

intik hujan sudah turun sejak tadi. Air turun dengan indah membasahi pipi putih dari manusia yang saat ini sedang mendongak ke arah asal dari mana ribuan bulir air itu diturunkan. Awan gelap di atas seakan sudah tak tahan lagi dengan semua bebannya, dan berakhir mengguyurkan itu semua pada bumi yang ada di bawahnya.

Setiap tetesan hujan terasa semakin sakit mengenai kulit, namun sesosok manusia mungil itu masih tak berniat untuk melindungi dirinya sendiri. Otaknya sebenarnya sudah menemukan suatu arah, namun kakinya masih tak kuat untuk mengikuti alurnya. Kaki kecil itu masih terus berjalan. Sangat pelan, namun pasti. Perlahan menyusuri jalanan seoul yang kini tengah ada dalam masa sepi.

Mata indah itu menatap kosong jalanan. Air hujan sudah berhasil menyembunyikan sesuatu yang keluar dari matanya. Jinho sudah tak peduli lagi akan pandangan orang. Mungkin mereka hanya akan menganggapnya gila. Bukan masalah besar. Otaknya sendiri juga masih belum sepenuhnya bekerja memikirkan apa yang terjadi. Hubungannya baru saja selesai. Itu memang kebenarannya, namun sangat sulit untuk dipercaya.

Benda di sakunya tiba-tiba bergetar. Sudah cukup untuk membuyarkan pandangan kosong Jinho. Sialnya, ponselnya basah. Semoga masih bisa digunakan. Jarinya berusaha menghidupkan benda mati itu dan pemberitahuan panggilan oleh seseorang memenuhi layarnya.

Changie is calling

"Halo?"

"Changgu-ya?"

Tak ada jawaban. Jinho mengerutkan dahinya ketika ia hanya mendengar kegaduhan di sambungan itu. Sial! perasaannya tak enak. Jinho melangkahkan kakinya lebih cepat. Berharap ia tak pulang terlambat. Ponsel masih ia tempelkan di telinganya, berharap suara Changgu yang ada di sana.

"Hyung berlama-lamalah,"

Suara Changgu akhirnya memenuhi telinga Jinho. Namun jawaban itu tak membantu sama sekali. Pernyataan itu hanya berhasil membuat Jinho semakin risau.

"Apa? Apa maksudmu?"

"Tetapl-"

"Ggu?"

Call has ended

Bukan Changgu yang memutus panggilan. Seseorang seperti segaja menarik paksa ponsel itu dan suara Changgu terpotong begitu saja. Jinho berlari sekarang ini. Benar-benar berlari karena Changgu saat ini sepertinya sedang ada dalam bahaya.

Jinho sampai. Satu kilo berlari membuat kaki Jinho mati rasa. Namun pemandangan di depan rumah membuatnya melebarkan mulutnya. Tiga mobil hitam sudah berjejer di sana. Itu mobil suruhan ayahnya. Dan dia bisa menjaminnya.

Jinho memasuki rumah Changgu. Bajunya yang masih basah karena air hujan seakan ia hiraukan. Ramai. Orang berbadan besar memenuhi rumah itu. Jinho hanya membatu melihat pemandangan di depannya saat ini.

"Ya Tuhan...," hanya itu yang bisa Jinho ucapkan sebelum otaknya memerintahkan untuk mencari pemilik rumah itu. Mengabaikan orang-orang berbadan besar yang menatapnya penuh kemenangan.

"Ggu?!"

Tak ada jawaban. Semua orang berbadan besar itu memberikan perhatian penuh padanya sekarang ini. Jinho tak peduli, ia mengabaikan orang-orang itu dan pandangannya menyapu seluruh bagian rumah.

"Ggu!"

Di sana. Di sofa dekat tangga seseorang terbaring lemah. Tangan dan mulunya ditutup lakban. Seorang pria duduk di dekatnya. Terlihat dengan kasar menahan tangan sahabatnya yang bahkan saat ini sudah terkulai lemas.

"Lepaskan dia, brengsek!"

Jinho yang berlari ke arah Changgu terhalang oleh orang yang lainnya. Dia. Kaki tangan ayahnya yang selalu diperintahkan untuk menyeretnya pulang. Tangannya menahan pundak Jinho. Jinho mendecih. Berani sekali si brengsek ini menyentuhnya.

𝐆𝐑𝐀𝐕𝐈𝐓𝐘 || 𝐉𝐨 𝐉𝐢𝐧𝐡𝐨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang