Suara orang-orang yang sibuk di ballroom pesta pernikahan Dio terdengar sampai ke ruang dandan gedung. Keluarga inti yang sedang didandani rias pengantin semakin bersemangat menyambut resepsi pernikahan anak terakhir keluarga Tapiheru.
Sesampainya Sasa ke gedung, ia langsung memasang wajah semangat dengan senyum lebarnya. Berakting ia mengatakan "Nanti Saga dateng belakangan, Sasa duluan soalnya harus dandan dulu kan, lama. Saga juga masih banyak kerjaan di kantor". Untung saja alasan tersebut cukup dipercaya keluarga besarnya, bahkan sampai ke Tante Brenda.
Ketika Saga akhirnya datang pun Sasa masih cukup baik melakukan sandiwaranya. Di depan Ayah dan Ibu mereka sempat berbincang bersama, di depan para sepupu mereka sempat bercanda, namun jika ada kesempatan untuk berdua, Sasa langsung memisahkan dirinya.
Untungnya sebagai kakak dari pengantin, Sasa memiliki banyak alasan untuk tidak selalu bersama suaminya dengan pura-pura sibuk menyiapkan trivia pernikahan. Menanyakan kelengkapan suvenir di meja tamu, mengecek catering, sampai memeriksa dandanan Nina.
Hampir tak ada yang menyangka bahwa Saga dan Sasa sedang tidak baik-baik saja, karena semua orang pun memang sedang sibuk-sibuknya. Saga sampai kaget saat Hasbi datang dengan pacarnya, lupa bahwa Hasbi adalah saudara jauh Sasa.
Saat menunggu giliran dandan, Sasa menipir ke sudut ruangan dan membuka sedikit tirai yang mengarahkan ke ruang resepsi. Ruangan besar tersebut dibaluti nuansa natur floral. Nina ingin konsep pernikahannya mirip dengan film Crazy Rich Asians, jadilah ia menunggu dua tahun menyelenggarakan pernikahan hanya untuk mendapatkan wedding organizer yang terpercaya membentuk perni-kahan seperti dalam film tersebut.
Sudut ruangan dandan tak dilalui siapa-siapa. Sasa yang memang sengaja ingin dirias terakhir hanya mematung sendirian menjauh dari kerumunan.
Mata Sasa pun jatuh ke panggung tempat Dio akan berdiri nanti, di mana Nina akan berjalan dari ujung koridor dan menghampirinya di atas panggung. Tempat tersebut seperti singgasana bertema taman hijau. Gitar dan beberapa alat mainnya sudah bertengger di pojok panggung, siap dimainkan ketika acara dimulai.
Sasa baru menyadari seberapa lama pun ia telah menikah, ia tak tahu rasanya bahagia berada di bangku pelaminan seperti apa. Ia tak tahu bersyukurnya dipertemukan dengan pasangan seperti apa. Ia hanya tahu bagaimana rasanya jadi seseorang yang menjalankan pesta pernikahan, bukan sebagai mempelai wanita yang bahagia telah dipersatukan dengan mempelai pria atas nama cinta.
Setidaknya ia bisa membuat Dio dan Nina bahagia merasakan cinta itu. Mereka berdua adalah alasan Sasa menikahi Saga. Bahagia mereka dapat membuat Sasa lebih rela melakukan apa yang sebelumnya tidak ia ikhlaskan. Ibu juga sangat bahagia, terus saja meminta orang-orang untuk memotretnya. Begitu pun dengan Ayah, meski tak banyak bicara seperti Ibu, semua dapat merasakan aura bahagianya.
Awalnya Sasa tak sedih. Ketika bertemu Tante Brenda dan ditanya ini-itu ia kuat. Begitu pula dengan sepupu-sepupu yang datang membawa anak-anak mereka. Sasa mampu menepis rasa irinya. Tetapi saat Sasa mulai mengganti baju menjadi dress emas yang ia beli di New York, tameng yang ia buat hancur tanpa aba-aba.
Gaun sejuta kenangan, mengajarkannya cinta dan air mata. Ia sampai kesal sendiri mengapa waktu itu yakin menggunakan baju tersebut untuk pernikahan Dio.
"Mba..."
Panggilan ayah mengurai pemikiran Sasa. "Ayah?"
Pria itu rupanya berdiri di belakang Sasa, dengan senyum seperti biasanya, menatap Sasa penuh bangga bagai putrinya itu yang terbaik di dunia. Ayah tak banyak bicara, ia hanya menunjuk Sasa untuk duduk di bangku luar yang berada di sudut ruangan resepsi. Cahaya remang-remang areal ballroom yang belum dinyalakan membuat siapa saja tak akan tahu mereka duduk di sana.
"Ada apa, Yah?" Sasa masih bertanya, menutup kesedihannya.
Entah apakah Sasa hanya menduga saja atau Ayah memang mengetahui sesuatu, tangan Ayah tiba-tiba menggenggam tangan Sasa. Ayahnya, meski lebih pendiam dibanding Ibu, selalu memiliki ikatan yang lebih kuat dengan Sasa.
Ayahnya selalu membuat Sasa berpikir pria baik masih ada di dunia. Kalau Tuhan saja bisa menciptakan satu pria seperti Ayah untuk Ibu, Sasa pasti bisa mendapatkan satu pria juga seperti itu.
"Mba udah sehat bener-bener kan...?"
"Iya, Mba sehat." Sasa sedikit bingung. "Kenapa emangnya?"
"Mba Sasa kekurung di ruang sauna kan waktu di Amerika?"
Hah?
Sasa tak pernah menceritakan masalah tersebut ke keluarganya. Ayah tau dari siapa?
"Mas Saga cerita sama Ayah waktu itu, pas kamu belum sadar..." Ayah berkata pelan. "Mas Saga nangis, banget. Minta doa Ayah semoga kamu nggak kenapa-kenapa... Ayah takut Mas Saga ikut kenapa-kenapa karena suaranya panik banget, nggak tau mau nelfon siapa lagi katanya... Akhirnya Ayah ajak ngobrol aja..."
Kilasan balik momen mereka di New York langsung terputar di otaknya. Kala Saga sangat marah ketika Sasa siuman, pria itu yang langsung ingin pindah tempat penginapan, pria itu yang tak mau berbi-cara bahkan sampai esoknya setelah sarapan. "Saga nangis, Yah?"
"Iya, nangis banget... Apalagi pas dia ngejelasin ngeliat badan kamu merah-merah, kaget banget katanya, pertama kali ngeliat kamu separah itu... Apalagi kan dia sendiri, gendong kamu, bawa ke kamar, gantiin baju—"
"Hah?" Sasa sampai sesak mendengarnya. Bukannya pihak hotel yang gantiin baju?
"Iya Mba... kenapa?"
Sasa menggeleng cepat. "Ng-ng-nggak. Nggak apa-apa." Sasa berdalih. "Sasa nggak nyangka aja Saga cerita ke Ayah."
"Iya sih... Emang kata Mas Saga jangan cerita ke siapa-siapa, apalagi ke Ibu... Mas Saga bilang, takutnya Ibu khawatir... Mas Saga kayaknya tau banget ya kamu sama Ibu orangnya panikan, jadi yaudah, ini jadi rahasia cowok aja katanya... Hehe..."
Ayah pun terdiam, menunggu Sasa meresponnya. Namun anak sulungnya itu hanya tersenyum dan mengangguk pelan, tak tahu harus menjawab apa. Jadilah Ayah melanjutkan ucapannya. "Mba, inget ya... Pernikahan itu bukan tentang selalu sejalan... Tapi bertahan waktu keadaan nggak sesuai harapan... Masalah itu emang awalnya hal-hal sepele... Biasanya ego atau salah paham yang ngebuat masalah kecil jadi besar... Pernikahan dua-tiga tahun emang biasa awal-awal kulitnya mulai kebuka... Harus bisa sabar dan saling ngertiin... Ya namanya juga dua orang disatuin. Kamu sama Ibu yang sedarah aja ada berantemnya kan... Apalagi sama orang baru..."
Sasa mulai merasa ingin menangis kembali.
"Kalau emang belum siap sama buruknya satu sama lain, senggaknya bertahan dulu untuk sifat baiknya masing-masing..."
Ucapan itu menampar Sasa. Menariknya ke dalam zona yang ia tepis selama menghadapi Saga. Seakan hanya ada buruknya sifat lelaki itu saja yang menghantuinya. Ayah tau dari mana ada masalah yang berhubungan sama itu semua?
Sasa ingin bertanya apakah Ayah tahu masalahnya atau tidak, tapi jika ternyata Ayah tidak tahu, justru Sasa akan membuka pusat permasalahan. Sasa tak mau menambah beban pikiran, hari ini adalah hari besar keluarga mereka.
Maka itu Sasa memilih untuk diam saja.
"Mba Sasaaa!" Teriakan Ibu dari dalam ruang dandan membuat Sasa dan Ayah kaget. "Tinggal Mba Sasa nih yang belom didandan ayo Mbaaa cepeeeet!"
Dengan itu Sasa langsung bangkit menuju meja rias.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Proposal | A Romantic Comedy
Fanfiction❝ Is it okay to marry the groom before their love bloom? ❞ The Proposal - 2020