"Morning."
"Morning."
Sasa dan Saga menyambut hari dengan senyum bahagia. Tadi Sasa keluar kamar lebih dulu karena tak ingin bangun berpapasan dengan Saga secara canggung. Butuh waktu berjam-jam baginya untuk menetralkan diri di depan cermin kamar mandi. Mendoktrin hatinya dengan mantra, "You should rock this day."
Jadilah ia melakukan yoga dan relaksasi. Hingga setelah mandi ia memberikan sentuhan ekstra pada dandanan wajahnya. Blush on berwarna merah muda, eye-liner yang membuat matanya lebih indah, hingga lipstick dengan warna lebih terang.
Tadi pagi juga Sasa bilang ia mau bertemu salah satu teman kuliahnya yang masih tinggal di New York. Jadilah ia meminta Saga untuk bertemu di lounge hotel saja saat sarapan. Bukan karena sepenuhnya ingin bertemu teman lama, ia hanya tak ingin ada adegan canggung saling menunggu satu sama lain mempersiapkan outfit mereka.
Sejak tadi malam pulang konser hingga siap-siap tadi, keduanya tak sabar menunggu hari ini. Sebelum tidur bahkan mereka meledek satu sama lain, melemparkan tembakan-tembakan banyol siapa yang lebih semangat menyambut pagi. Padahal dua-duanya sama-sama tersenyum sebelum tidur membayangkan status mereka yang akan berubah selama satu hari.
Memang aneh, padahal keduanya adalah suami-istri, namun mereka justru berdebaran menyambut permainan ini. Sama seperti Sasa, Saga juga menambahkan sentuhan-sentuhan yang tidak ia lakukan sebelumnya. Pria itu yang gemar mengenakan kaos biasa kini memakai kemeja biru donker. Ia pun mengganti parfum Jo Malone yang biasa dikenakannya menjadi Tom Ford.
Baru saja mereka bertemu di meja yang sama, keduanya tersenyum penuh siratan makna. Entahlah, antara cinta dan ingin memenangkan permainan, tatapan keduanya sulit untuk dibaca. Keduanya juga mengeluarkan ponsel, mengajak mirror-selfie di atas meja yang berbalutkan cermin.
"Cheese..."
Foto pertama, Sasa mengangkat dua jari dan Saga tersenyum lebar. Foto kedua, Saga dan Sasa sama-sama memasang wajah cemberut. Foto ketiga, Saga melebarkan matanya dengan mulut membentuk huruf O sedang Sasa menunjuk Saga sambil tertawa.
Lantunan piano khas hotel membuat keduanya menggoyangkan kepala. Lantunan piano itu membuat Saga jadi ingat dengan apa yang mereka lakukan nanti malam. Pesta dansa, dengan tema tahun 1965. Keduanya belum menyiapkan gaun dan jas, maka itu sejak tadi malam Saga sudah mentitah Sasa salah satu agenda mereka hari ini harus membeli baju bersama. Sasa sendiri sudah semangat membawa Saga ke SoHo, salah satu distrik klasik fashion icon Kota New York.
"Mau langsung ke SoHo atau ke tempat-tempat lain dulu?" Sasa bertanya di tengah santapan kuenya.
Saga memiringkan kepala, berpikir lama. Cukup lama, membuat Sasa yang menunggunya lanjut memakan kuenya saja.
Hingga tiba-tiba pria itu menjawab dengan, "Terserah, hari ini Saga ikut Sasa aja."
Gila.
Tangan Sasa sampai berhenti di udara. Ia salah tingkah. Malu. Gemas. Semuanya terjadi dalam detik yang sama. Tapi ia tidak mau terlihat kalah.
"Ok." Sasa melap ujung-ujung bibirnya dengan serbet. "Aku mau kita nggak usah bawa mobil ya."
Mata Sasa menatap bola mata Saga dengan senyum. Begitu juga dengan Saga yang menyunggingkan senyum lebarnya. Tatapan itu membuat keduanya tak bisa saling membaca. Entah cinta atau rasa ingin mengalahkan, dua-duanya sama-sama memancarkan kasih sayang.
***
Tin tin!
Suara klakson-klakson mobil menjadi hal pertama yang Saga dan Sasa dengar setelah keluar stasiun kereta bawah tanah. Tidak seperti hari-hari biasanya mereka membawa mobil, kali ini Sasa minta mereka jalan-jalan dengan transportasi umum. Keliling kota seperti pasangan standar, keluar masuk peron dengan tangan saling berpegangan. Sasa selalu ingin melakukan itu sejak masih tinggal di New York sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Proposal | A Romantic Comedy
Fiksi Penggemar❝ Is it okay to marry the groom before their love bloom? ❞ The Proposal - 2020