Bunyi suara burung bercicit menjadi hal yang membangunkan Sasa. Ia tak tahu saat itu pukul berapa, yang pasti sebersit matahari masuk melalui celah gorden jendela kamar, membuatnya menerka mungkin jam sudah menunjukkan pukul delapan.
Minggu pagi bersama Saga membuat moodnya selalu ceria. Khas wangi kopi parfum ruangan mereka, dominasi kekayuan furnitur kamar, dan burung yang sesekali menghinggapi jendela, rasanya Sasa seperti hidup dalam lagu Bubbly milik Colbie Caillat.
"I've been awake for a while now..." Sasa menyanyikan lirik lagu tersebut sambil memeluk Saga, pria itu pun refleks mengelus Sasa pelan.
Saga akan ulang tahun minggu besok, dan Sasa tak sabar memberi kado untuknya. Saking tidak sabarnya, mungkin ia akan memberikannya saat itu saja. Sudah setahun lamanya semenjak mereka memutuskan untuk tidur satu kamar, rasanya panjang sekali bisa sampai pada titik tersebut. Dulu awal-awal mereka bertingkah sebagai pasangan sungguhan, Sasa tetap tak mau sekasur dengan Saga. Sampai jika sudah malam hari, Saga akan mengetuk pintu Sasa dengan guling di tangannya, tersenyum di balik setelan piama dan bertanya, "Aku tidur di kamar kamu ya malem ini?"
Tabahnya Saga diajak nonton drama Korea oleh Sasa setiap hari.
Awalnya Sasa terkesan jengah tidur di sebelah pria itu. Tapi saat suatu ketika Saga banyak kerjaan sehingga menghabiskan malam di ruang TV, tahu-tahu Sasa keluar kamar mengernyitkan dahi.
"Kok nggak tidur di kamar?"
Setelah hari itu mereka mulai tidur bersama. Jadilah kamar Sasa digunakan untuk kamar tamu.
"Ga, bangun deh. Aku mau kasih kamu kado ulang tahun."
Saga langsung membuka matanya. Dengan suara serak ia bertanya, "Isn't my birthday next week?"
"Ya nggak apa-apa. Aku mau kasih sekarang aja biar cepet."
Sasa bisa mengubah panggilan menjadi aku-kamu juga karena Saga paksa hampir setiap waktu. Ia terus mengungkit kembali hari mereka berpacaran satu hari dimana saat itu Sasa bisa memanggil Saga tidak dengan 'Bapak' satu hari penuh.
"Waktu itu aja kamu bisa ngomong aku-kamu."
"Waktu itu kan cuma main-main doang."
"Ya sekarang anggep aja main-main doang."
Tetap saja Sasa tak bisa.
Akhirnya dengan cara terakhir, Saga tak mau bicara jika Sasa tak merubah panggilannya. Pernah satu hari penuh ia tak menoleh karena Sasa masih memanggilnya 'Pak'. Akibat itu Sasa bisa merubah aku-kamu di antara mereka.
Sasa pun menggesturkan Saga untuk bangun dan pria itu duduk menyender di kayu kepala kasur. Suami Sasa itu sebenarnya paling malas berurusan dengan kado ulang tahun karena ia tak pernah menganggap perayaan-perayaan tersebut sebuah hal penting. Maka itu ketika Sasa mengambil kadonya dari dalam lemari, Saga hanya berkata, "Ngapain sih Sa."
Menunggu Sasa, ia pun mengambil ponselnya di meja nakas sebelah kasur. Memeriksa pekerjaan, deadline tugas, karyawan-karyawannya, hal-hal yang pasti akan ia lakukan setiap pagi yang membuat Sasa kesal sendiri. 'Harusnya kamu urusin diri kamu dulu baru kerjaan!', begitu celotehnya hampir setiap hari.
Sebenarnya Saga sedang mempertimbangkan untuk berhenti menjadi karyawan. Sejak dulu juga Saga tidak pernah benar-benar ingin jadi karyawan kantoran, maka itu ia tak pernah mau mengambil jabatan tinggi. Namun sudah bertahun-tahun lamanya, ia merasa sudah saatnya ia memberi waktu penuh mengurus bisnisnya, sekaligus menjadi home-body seutuhnya. Sebuah keinginan yang sejak dulu ia jadikan cita-cita, bekerja di rumah dan tetap menghasilkan uang.
Setahun setelah Sasa keluar kantor, bisa dibilang dinamika divisi Business Service sudah jauh berbeda. Bukan hanya kehilangan Jek dan Sasa, Juna sebagai kepala divisi juga sudah dipindahkan dari jabatannya, masuk ke jajaran direksi memiliki sekretaris sendiri—yang mana, banyak teman kantor merasa Juna terlibat cinta lokasi dengan sekretarisnya itu.
"Ga, kamu mau sarapan apa?"
Sasa yang datang dengan sebuah boks kecil berwarna violet membuat Saga tak mendengar pertanyaan wanita itu. "Ngapain sih, Sa? Nggak biasanya kamu kayak gini."
"Mau makan apa?" Sasa duduk tepat di sebelah Saga, menatap suaminya.
Namun Saga justru menatap boks hadiah yang Sasa berikan itu. Ia pun mengambilnya, "Kamu tau aku nggak suka—"
"Pelan-pelan bukanya."
Melebihi kejutan atau kado ulang tahun, baik Saga dan Sasa sama-sama tahu pria itu lebih senang mendengar kabar kehamilan istrinya. Diam-diam Sasa lihat, pria itu gemar menonton acara The Return of Superman hingga bahkan membaca jurnal-jurnal tentang kehamilan.
Di depan Saga, jantung Sasa berdegup kencang. Setiap gerak-gerik suaminya itu ia perhatikan baik-baik, akan ia ingat terus sampai kapanpun. Awalnya Saga biasa saja membuka kotaknya, namun ketika melihat apa isi di dalamnya, ia langsung membeku tak bergeming.
Sebuah testpack. Dengan dua garis biru.
"Sa?"
Mereka saling menatap.
"Sa?!"
Pandangan Saga beralih dari dalam kotak ke wajah Sasa. "Is this real?"
Tak kuasa air mata menggenangi kelopak mata keduanya. Kali ini Saga tak menggigit bibirnya, ia membiarkan air mata itu menetes begitu saja. Sasa bahkan langsung dipeluk olehnya, teriak kencang ia dalam pelukan wanita itu.
"AAAAAA!!!"
Saat Sasa telat datang bulan beberapa minggu lalu, ia memang sudah berfirasat baik mengenai kandungannya. Mati-matian ia merahasiakannya dari Saga. Sejujurnya ia ingin memberitahunya tepat saat ulang tahun Saga namun ia tak kuat menahannya lebih lama. Ia tak sabar melihat suaminya kegirangan seperti saat ini.
Usai memeluk Sasa, pria itu melompat-lompat ke berbagai sisi kamar. Ia bahkan berlari ke ruang TV dan kembali berteriak di sana. Ia masuk ke dalam dan mengacak-acak rambutnya sendiri, mengambil ponsel, menatap Sasa, duduk di kasur, lalu kembali keluar dan berteriak kembali.
"AAAAAAA!!!"
Semua jenis pertanyaan langsung terlontar saat Saga kembali ke kamar. "What should we do?? Kasih tau Tante Brenda? Telfon Ayah Ibu? Ajak keluarga kamu makan bareng? How should we tell them? A surprise, maybe? Kita makan malem—"
"Let's tell them on your birthday." Sasa memotong ucapan Saga.
"Good idea."
Sasa pun kembali dipeluk oleh Saga erat-erat. Ia tak bisa membendung bahagianya. Diciumnya rambut Sasa dalam-dalam dan dielusnya punggung Sasa dengan lembut. Saga bersumpah, ia tak pernah sebahagia itu seumur hidupnya.
"Let's be together forever, Sa."
Sasa tersenyum dalam pelukannya. "Let's be together forever, Pak."
"Don't call me 'Pak'!"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
The Proposal | A Romantic Comedy
Fanfiction❝ Is it okay to marry the groom before their love bloom? ❞ The Proposal - 2020