New York

3.9K 298 13
                                    

The things we said and did have left permanent scars

Obsessed, depressed at the same time

I can't even walk in a straight line

I've been lying in the dark no sunshine

Suara bebadutan yang menyapa orang lewat berbenturan dengan suara seniman jalan yang menyanyikan lagu Just A Feeling milik Maroon 5. Suasana Central Park masih sama seperti saat Saga ke sana kali pertama, hanya saja rasanya hampa tanpa keberadaan Sasa.

Sedari tadi Saga terus melangkah mengarungi jalan. Wind up miles no direction kalau kata Sasa. Jika saja masih ada perempuan itu, mungkin mereka sudah di tengah danau mengayuh dayung.

Saga hanya duduk di salah satu bangku panjang pinggir jalan jauh dari keramaian. Ia yang duduk sendirian hanya memandang burung yang turun ke jalan, ditemani lagu Maroon 5 yang masih dinyanyikan.

Dipandangnya suvenir kecil di tangan, sebuah patung Liberty biru kecil yang dijual di areal luar Central Park. Benaknya terbang kepada percakapan yang selama ini ia lakukan dengan Ayah Sasa. Ayah yang diam-diam sering meneleponnya, Saga yang kerap mengajak Ayah jalan berdua, sampai curhatan terakhir Saga tentang pertengkaran hebat ia dan Sasa.

... You may not believe me but I gave you all I had ...

Sudah hampir dua hari Saga berada di New York. Nanti malam ia akan kembali ke Indonesia. Sejak kemarin Saga terus saja menyusuri jalan yang dulu ia lalui dengan Sasa. Mulai dari 6th Ave, SoHo, Times Square hingga Rockefeller.

Saga banyak paham mengenai kota tersebut hanya dengan lima hari pergi dengan Sasa. Rasanya ia sudah tinggal di sana berlama-lama hingga hafal seluk-beluknya, dan bagai ingin semakin menyayat hatinya ia pun memesan penginapan di hotel yang sama, juga dengan nomor kamar yang tak berbeda.

Dari kejauhan Saga memandang hotel The Plaza. Bagaimana bisa satu tempat menyimpan banyak perasaan di dalamnya? Dari kenangan baik maupun pahit, hotel itu adalah saksi bisu semuanya.

Menengadah ke hotel, pandangannya teralihkan pada langit yang mulai keabu-abuan. Sekarang baru pukul tiga namun suasana sudah menggelap. Tak biasanya sore musim panas begitu kelabu kecuali akan turun hujan lebat. Seharusnya Saga bangkit dari bangkunya, namun ia tetap berdiam menikmati angin yang terasa menusuk pori-pori.

Tsk

Setetes air hujan yang jatuh ke lengannya membuat Saga mendongak. Sepertinya benar hujan deras akan turun. Dengan lagu Just A Feeling yang hampir selesai dinyanyikan, Saga akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel. Berlari kecil menyusuri arah jalan pulang.

Now I can't believe that it's over

Masuk ke lobi hotel melalui pintu putar, Saga disambut dengan petugas pelayanan yang sudah kenal dengan Saga. Nasib baik Saga tadi buru-buru pulang, kalau tidak mungkin kini ia sudah kebasahan akibat hujan lebat membasahi kota.

Saga pun masuk ke dalam lift. Dibanding hari terakhir Saga dan Sasa menginap di hotel tersebut, lift sore itu terbilang ramai. Setidaknya tiga perempat isinya terisi dan Saga harus sedikit menipir ke sisi belakang.

Ding!

Sesampainya di lantai delapan, Saga menjadi satu-satunya yang keluar. Ia pun menyusuri koridor yang terbalut beledu cokelat. Setiap langkahnya terasa menyedihkan, berharap ia dapat menghapus semua kenangan yang membuat Sasa terluka sendirian.

Usai menempelkan kartu dan membuka pintunya, Saga pun menyambut kamar dua single-bed itu tak antusias. Mungkin sisa waktu sorenya hanya akan ia pakai untuk menyicil deadline pekerjaan, atau mungkin ia akan menonton broadway di tempatnya dulu menonton dengan Sasa, atau mungkin ia akan ke Times Square lagi, menjadikan gemerlap cahaya-cahaya sebagai penutup kesedihannya.

Srk!

Belum sampai pintu kamarnya tertutup, tangan seseorang dari luar menahan Saga menutupnya.

Mengernyit Saga dibuatnya.

Awalnya Saga bingung. Namun saat ia membuka pintu lebih lebar, dan mendapati seorang wanita berdiri di luar, mata Saga sampai terbelalak melihatnya.

Sasa?!

Gemuruh petir entah menjadi suara penyambut perempuan itu datang atau merepresentasikan detak jantung keduanya yang berdentum keras. Angin kencang membuat pot gantung di teras terbentur pelan dengan jendela, menjadi suara yang menyadarkan mereka bahwa apa yang terjadi bukanlah mimpi semata.

Saga menatap perempuan di depannya dari atas sampai bawah. Benarkah seorang Sarah Anjani mendatanginya ke Amerika? Bagaimana bisa? Kapan perempuan itu berangkat menyusulnya?

Di lain sisi Sasa sudah kedinginan, kebasahan hanya dengan kaos berbalutkan sweater abu-abu yang kupluknya tak ia pakai. Wajahnya yang basah sudah tercampur akibat hujan dan air mata. Sungguh pertemuannya dengan Saga tidak romantis, tetapi baru melihat wajah Saga saja sudah membuatnya ingin menangis.

Waktu seperti berhenti berputar bagi keduanya.

Baru saja Sasa membuka mulutnya, Saga langsung menarik perempuan itu kencang dan mendekapnya erat. Memeluknya kuat-kuat tak peduli apakah perempuan di hadapannya manusia sungguhan atau hanya sekedar khayalan. Perempuan itu terlihat kacau dengan mata yang sembab. Namun tetap saja dengan keadaan sekacau itu pun ia masih sangat cantik di mata Saga.

Sasa tak peduli dengan hujan yang harus ia terobos di tengah macet tadi. Ia bahkan tak peduli dengan ponselnya yang hampir mati mengejar pesawat tercepat dari Indonesia. Ia hanya peduli dengan pria yang terus menggigit bibirnya itu.

"I'm sorry..."

Pria itu mengutarakannya dengan mata terpejam, rindu sekali dengan wangi vanila khas rambut Sasa. Seketika suara hujan di luar bahkan tak terdengar bagi keduanya.

"I'm sorry." Hanya itu kata-kata yang terulang. "I'm sorry."

Basah badan Sasa membuat Saga memeluknya lebih kencang, pasti wanita itu kedinginan sepanjang jalan. Saga rindu setiap detil tentangnya yang selalu Saga perhatikan. Terlalu sakit rasanya ia menjalani hari-harinya sendirian.

"I-i-it's o-k-k—" Di depannya, Sasa sudah menangis sampai pundaknya naik-turun. "I-if y-youw-want t-t-to—"

Saga terus mengelus punggung Sasa. Jika ia mampu memeluk Sasa lebih erat ia akan melakukannya hanya agar mereka berdua tak berjarak.

"S-s-s-seem s-st-str-strong—"

Sasa menarik napas.

"I-in f-fr-fr-front—"

Ah berhenti nangis! Susah payah Sasa berbicara mengingat kata-kata yang ia hafalkan selama perjalanan. Semakin Sasa mencoba melanjutkan, semakin tercekik kerongkongannya.

"IHH!!! Ng-ng-nggak m-mau n-n-nann-ngis!!!!"

Saga tersenyum mendengarnya. Hal itu yang paling Saga rindukan dari Sasa, ia dengan segala ketulusannya. Membuat air mata Saga menetes begitu saja, tak peduli lagi ia dengan pertahanan dirinya.

"S-s-saya ng-ngg-nggak m-m-mau nan-ng-ngis!!!!"

Di depannya Sasa masih kesal. Merengek ia menghentakkan kakinya kecil, yang tentu saja melebarkan senyum Saga. Diciumnya rambut Sasa dengan dekap yang dalam. Saga begitu merindukannya, dan pelukan tersebut sukses menghangatkan keduanya.

"S-saya u-d-dah siap-p-pi-in k-kat-ta—"

Dipotongnya ucapan Sasa oleh Saga. "It's ok, your tears says it all."

***

The Proposal | A Romantic ComedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang