Surat Permohonan Cerai
Surat Pernyataan Pengunduran Diri Kerja
Saga selalu bermain dengan opportunity cost seumur hidupnya. Apa yang harus jadi prioritasnya, apa yang harus dilepasnya, semua tak ada yang gratis di dunia.
Maka ia tahu apa yang ia lakukan pada Olivia bukanlah sebuah kesalahan. Ia sudah menunggu seumur hidupnya untuk itu. Meski ia harus membuat dirinya tersiksa, membiarkan Sasa berpikir ia hanya manusia jahat tak peduli cinta. Ia tetap ingin bertemu mantan kekasihnya itu.
Saga sudah menandatangani surat cerai dan surat pengunduran diri di dalam amplop yang sama, bersatu dengan tebalnya tugas prasyarat keluar perusahaan yang ada di dalamnya. Saga tak tahu apakah itu cara terakhirnya untuk bertahan atau justru senjata terakhirnya di dalam senapan. Satu hal yang ia percaya, bahwa hidup memang sebuah alam rintang dan ia sudah terbiasa menikmati pahitnya. Perjalanan hidupnya kali ini juga bukan pengecualian. Ini hanyalah satu masalah kecil dan ia mampu melaluinya.
You're a falling star, you're the get-away car
You're the line in the sand when I go too farInstrumen lagu Everything milik Michael Bublé terputar di lounge saat Saga sedang menunggu Olivia datang, mengingatkan Saga dengan hari dimana ia dan Sasa memilih baju di SoHo untuk pesta dansa. Saat itu juga lagu yang sama terputar ketika mereka berada dalam toko Louis Vuitton.
[Olivia]: How nice of you to book the table already...
[Olivia]: I should be the one treating since my birthday
was just yesterday...
Saga membaca pesan yang baru saja masuk dari Olivia. Sepertinya wanita itu sudah mau sampai berhubung tadi mereka sempat saling menelepon dan Olivia mengatakan ia berada tak jauh dari tempat janjian mereka berada.
Entah karena memang Saga sudah terbiasa bekerja, atau karena momen yang sudah lama ia nanti akhirnya datang, hari-hari Saga di California terasa begitu cepat hingga sampai juga pada hari Saga dan Olivia berjanjian.
Saga sudah duduk di bangku dalam lounge hotel yang ia reservasi dari jauh-jauh hari. Sengaja ia datang sebelum waktu janjian, dulu Olivia sering bilang ia suka sekali dengan manner Saga. Saga ingin menunjuk-kan kepada wanita itu bahwa seluruh sifatnya masih sama tak ada yang berubah sejak mereka berpisah.
Sesekali Saga masih memandang ponselnya, menonton CCTV yang memapangkan rumah mereka bagian ruang TV. Tidak banyak hal-hal yang berubah di sana selain map yang baru sempat Sasa ambil setelah ia biarkan berhari-hari. Rasanya sakit setiap kali Saga memikirkan Sasa. Namun sedih itu harus ia redam paksa. Apa boleh buat? Saga sendiri yang harus menerima konsekuensinya.
Melihat putaran video CCTV itu, Saga jadi ingat dengan segala rentetan panjang yang membuat hubungan Saga dan Sasa merenggang. Tentang mereka yang terjebak permainan, tentang pertikaian tanpa ucapan lisan, tentang rumah mereka yang sebenarnya penuh kenangan.
Saga ingat betul ketika ia menemui Olivia saat hari terakhir di New York, ia masih bisa meredam segalanya. Ia mampu mengontrol perasaannya. Namun ketika ia membaca chat Sasa dengan Juna, dilanjut dengan telepon Juna dengannya, gunung es yang sudah lama ia paksa kubur langsung pecah begitu saja. Ia bahkan tak berani menunjukkan diri aslinya kepada siapa saja. Ingatan malam itu tak bisa ia lupakan begitu saja, apalagi saat Juna mengatakan bahwa Olivia masih menyukainya.
Ya. Di telepon, Juna mengatakan bahwa Olivia masih memen-dam rasa pada Saga.
" ... Ga udah dulu ya gue nggak bisa nelfon lama-lama. Ngejar meeting jam sebelas. Oh iya btw gue emailan beberapa kali sama Oliv terus dia bilang tuh kalo dia masih suka sama lo."
Usai telepon dimatikan, Saga sampai terdiam lama merenung mencari jalan keluar menyelesaikan masalah-masalahnya. Seharusnya ia membenci Juna karena Saga tahu Juna pasti ikut andil di dalamnya. Tapi bahkan Saga lebih membenci dirinya sendiri karena rongga-rongga yang ia tutup dalam hati terbuka kembali.
Permasalahan utamanya adalah saat itu ia tak merasa salah mengambil jalan tersebut. Untuk membiarkan Sasa menerka semuanya dalam diam. Untuk membuat dirinya sendiri terluka karena sakit yang seharusnya sudah karam.
Tapi di sinilah ia, pada akhirnya melakukan ini juga. Sesuai apa yang sudah ia rancang di Jakarta, bertemu Olivia usai meeting mereka di Amerika. Dengan balutan gaya necis favorit perempuan itu, Saga sudah berada di lounge hotel bintang lima. Tempat makan itu dihiasi marmer ubin dan chandelier besar yang menunjukkan kesan elegan. Meja mereka berbalut kain putih dan bunga di atasnya, cocok untuk tempat makan romantis dengan pasangan.
Saga lalu melepas cincin pernikahannya dengan Sasa. Dalam diam ia memasukkan bulatan emas itu ke dalam sakunya. Setelahnya pun Saga memandang tas belanja yang ia beli, berisi sepatu Versace seharga 196 juta sebagai kado untuk Olivia. Sebenarnya untuk sebuah peristiwa yang sudah lama ia tunggu, harga tersebut bukan nominal besar baginya.
Tapi ya sudah, karena malas berpikir lama, di toko tadi ia ambil saja semaunya.
And in this crazy life
And through these crazy times
It's you, it's youTepat saat instrumen lagu Everything sudah mau selesai, Olivia masuk ke dalam lounge berbalutkan dress satin berwarna biru donker. Sepertinya ia tak sadar Saga menatapnya dari kejauhan. Ia hanya menoleh kanan-kiri menggeledah pandangan.
"Liv!"
Ketika mata mereka saling bertemu, keduanya sama-sama mengangkat ujung-ujung bibir mereka. Olivia pun lalu berjalan mendekat malu-malu.
"Halo Ga..."
"Hey Liv."
Melihat wanita itu dengan keadaan seperti ini, bukan sebagai rekan kerja tetapi sebagai teman lama, memori mereka di Korea langsung terulang lagi di kepala Saga.
Halo, temen lama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Proposal | A Romantic Comedy
Fanfiction❝ Is it okay to marry the groom before their love bloom? ❞ The Proposal - 2020