"Oh I see..." Olivia manggut-manggut sambil menyematkan rambutnya ke belakang telinga.
Di Los Angeles, Saga dan Olivia sedang membicarakan bisnis Saga berhubung sejak tadi hanya obrolan-obrolan seputar itu yang Olivia tanyakan padanya.
"Enough about my business, really." Saga mengibaskan tangan lalu melap sisi-sisi bibirnya dengan serbet. Di lain sisi juga Olivia melakukan hal yang sama. "I wanna know about you, capek pasti ya ngikutin lingkungan kerja di US?"
"Ahhh ya gitu..." Olivia menghembuskan napas sedih. "Lembur hampir setiap hari, susah dapet pacar, single-mingle with the bustle..."
Gila. Saga menggelengkan kepala tak menyangka. Bisa-bisanya Olivia juga berbohong ia sudah memiliki pacar.
Hingga akhirnya Olivia bertanya, "Jadi sisa dinas kamu mau gimana nih di sini? Kamu mau liat LA dari segi apanya? I may not be a good guide but I know places... Kamu bisa nginep di tempatku kalo bosen di hotel kamu."
"Makasih banyak Liv tapi I don't have much time di LA, mau ngejar flight ke New York."
Hah? Air wajah Olivia berubah mendengarnya.
"Mau beli sesuatu untuk istri saya dan cuma ada di sana."
Nggak mungkin.
"O-oh k-kamu udah nikah...?"
Dengan antusias Saga menganggukkan kepalanya. "Itu hadiah kamu juga istri saya yang pilih, saya nggak paham urusan perempuan jadi untung ada dia. She also said happy birthday, dia kenal kamu. Saya bilang kamu mantan saya di Korea dulu waktu saya nggak punya apa-apa."
Dentuman dada Olivia seperti terasa sampai tempat duduk Saga.
Keduanya pun langsung meminum air mereka, meski dengan pemikiran yang berbeda. Di sela-sela pandangan Saga terhadap gelasnya, matanya diam-diam terpaku pada cincin di jari manis yang tak lagi ia sematkan. Jari manis itu membawanya pada memori kala gathering kan-tor dulu awal ia dan Sasa di mobil membicarakan perjodohan.
Tapi Bapak mau nih ya nikah tanpa cinta? Soalnya saya nggak mau ngasih loh Pak.
Saga bahkan tak tahu akankah setelah ini Sasa menerimanya atau tidak, namun rasanya memang sudah semestinya Saga membanggakan Sasa di depan Olivia. Setidaknya itu hal yang sejak dulu ingin Saga lakukan.
"A-ah... I see." Di lain sisi, mendengar ucapan Saga membuat Olivia sadar kenyataan buruk baru saja menamparnya. "I thought, you're single. Soalnya, cincin—"
"Ah, cincin." Saga langsung mengeluarkan cincin dari sakunya. "Ada. Saya emang suka lupa pake cincin."
Saga memasukkan bulatan emas itu ke jari manisnya. "Berhu-bung orang seumuran kita nikah juga rasanya kayak masih pacaran jadi saya sama dia suka lupa pake cincin. Untung kamu ingetin, thanks Liv."
Bersamaan dengan itu, Saga pun melihat jam di tangannya, takut kalau-kalau waktunya terlalu mepet sampai ia ke bandara. Karena nyatanya memang betul ia tak memiliki waktu lama sampai penerbangan-nya ke New York.
"Liv, I think I need to leave soon, waktunya agak mepet..."
Saga pun bangkit dari bangkunya, membuat Olivia melakukan hal yang sama.
"So you're going there...? Mau beli apa emangnya? Biasanya yang di New York pasti ada di LA juga, Ga." Sepertinya Olivia masih berpikir ia memiliki kesempatan untuk sekedar menjadi selir.
"Kayaknya nggak ada di LA yang saya mau, I'm looking for pregnancy vitamin dari dokter yang istri saya percaya, tempatnya cuma di New York. She's expecting a baby."
Saga tak pernah melihat wajah Olivia sekaget itu.
"Waktu kita ketemu di The Plaza itu saya lagi liburan sama istri saya. Sayang ya waktu itu kamu buru-buru jadi nggak bisa ketemu dia."
Dengan itu Saga mengajak Olivia berjabat tangan tanda selamat tinggal.
"Goodbye Liv! Thank you ya! Kabar-kabar kalo mau nikah!" Saga mengajak Olivia fist-bump setelahnya. "Ya meskipun kalo kamu nikah belum tentu saya bisa dateng sih secara level kamu pasti tinggi."
Olivia langsung menggelengkan kepala. "Kamu bahkan lebih kaya dari seluruh cowok yang pernah deketin saya selama ini."
Hampir-hampir Saga memutarkan bola matanya. Ia pun mengibaskan tangan dan akhirnya pergi duluan berbalik badan. Namun baru saja Saga melangkah, Olivia sudah menahannya lagi.
"Ga."
Saga kembali berbalik ke arah Olivia. "Ya?"
"Kamu..." Ada ekspresi gusar di wajah perempuan itu. Seperti tak yakin dengan apa yang akan ia ucapkan. "Kamu denger sesuatu nggak malam itu?"
"Malam itu?"
Malam itu. Olivia pasti merujuk pada saat Saga menjadi pelayan di Seoul malam itu. Malam yang menjadi alasan Saga mengakhiri hubungan dengan Olivia, yang telah berganti lebih dari sewindu lamanya namun masih tertanam baik di otak mereka.
"A-aku nggak tau, mungkin ini kedengerannya aneh, dan i-ini juga udah lama sih, cuma, I was wondering aja... K-kali aja kamu denger omongan aku, sama sodaraku, pas kita putus malem itu... di restoran,"
Saga bisa saja membungkam Olivia dengan kata-kata tajam namun ia hanya terdiam, menunggu wanita di hadapannya melanjutkan kata-katanya.
"Nggak tau sih, kamu nggak denger ya kayaknya? Maaf mungkin aku cuma, aku, I don't know. It's ok. Nggak apa-apa."
Saga pura-pura bingung. "Omongan apa?"
"A-a-aku... aku ngerasa aku pernah ngebuat kesalahan besar sama kamu. M-maaf ya, kalo, kalo dulu pernah ada ucapan yang buat kamu kesel."
Terenyum tipis Saga mendengarnya. "Oh... kirain ada apa."
Setelahnya pun ia melanjutkan, "Saya juga minta maaf ya kalau dulu-dulu pernah ada salah."
Karena dalihan tak mau tertinggal jadwal pesawat, Saga pun berlalu lebih dulu. Ia melihat jam di tangan dan mengatakan bahwa ia benar-benar harus pergi, meninggalkan Olivia sendirian yang hanya menatapnya dari belakang hingga hilang di balik pintu.
Permintaan maaf itu pun membuat Saga sadar, seberapa banyak rintangan hidup yang ia lalui, ia belum sepenuhnya dewasa hingga ia dapat melalui hari itu. Karena nyatanya bagian dari pendewasaan diri adalah mengikhlaskan kesalahan seseorang yang rasanya tak bisa dimaaf-kan. Padahal memaafkan bukan tentang kalah dan menang, tetapi tentang hati yang sebenarnya butuh ketenangan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Proposal | A Romantic Comedy
Fanfic❝ Is it okay to marry the groom before their love bloom? ❞ The Proposal - 2020