teralih

5.9K 428 70
                                        


Kita teralih terlalu tinggi
Terbuai 'kan mentari, tak mau kembali
Kita melayang terlalu lama
Menghangatkan segala dingin dunia

Teralih - Matter Halo ft. Nadin 

***

Seperti biasa, gua selalu gampang banget ketiduran, dimanapun, termasuk sekarang ini. Perasaan tadi gua lagi mijitin Lia, kok sekarang dianya udah ga ada di ranjang, berganti dengan guling yang tadi sempet dilempar ke muka gua, hahahaha.

Gua mengedarkan pandangan, Lia ga keliatan, tapi ada suara shower dari kamar mandi. I bet she is there, semoga aja dia inget mandinya pake air anget.

This could be the last weekend in Melbourne that we can spend together before leaving for Jakarta within 2 weeks. Di Jakarta nanti, semua ga akan sama, ya meskipun orang-orang terdekat gua dan Lia udah tau apa yang lagi kita jalanin – di Jakarta, semua mata akan mengawasi gua dan Lia, well mungkin kedengeran lebay, but that's the fact. Apalagi kabar Lia kuliah di Melbourne udah sampe kemana-mana, makin rumit deh.

"Ya, kamu mandi?" tanya gua sambil mengetuk pintu kamar mandi, ga ada jawaban.

Tokkk tokkk tokkk ketukan kedua.

"Sayang? Kamu mandi? Masih lama?" suara shower terhenti, dan Lia menjawab dari dalam.

"Iyaaa Baal, bentar lagi selesai kok, aku udah pesen ubereats, ada di meja, kamu makan duluan aja"

Yah, malah disuruh makan, padahal gua ngarepnya tadi diminta nyusul ke dalem hehehehe.

Dengan malas gua menyeret kaki ke arah meja makan dan menemukan beberapa paperbag berisi lasagna yang masih panas di sana. Ntar aja deh makannya bareng Lia.

Sambil nungguin Lia, gua iseng ngecek IG sambil mengunyah potongan jeruk yang kayaknya sempet Lia siapin sebelum mandi. Beberapa foto dari temen-temen gua muncul di layar, jari gua terhenti di postingan Nadin, Nadin Amizah. Bukan karena foto Nadin yang bikin gua freeze, tapi salah satu memori lama gua, dan Lia, yang lekat dengan Nadin langsung tergambar jelas di kepala gua.

Refleks gua bekerja, searching lagu Nadin di library, lalu memutarnya dengan mode looping lewat bluetooth speaker di apartemen Lia yang emang udah sering nyambung ke HP gua. Yes, that's the song, Teralih, yang dilantunkan dengan sangat manis oleh Nadin.

Cklekkkk..

Suara pintu terbuka menimpali putaran kedua Teralih yang hampir sampai di ujung lagu. Lia sudah selesai mandi. Dengan rambut masih setengah basah dan piyama pendek bermotif daisies biru muda, Lia keliatan cantik banget.

"Kok kamu muter lagu ini Baal?" tanyanya sambil menghampiri kursi tempat gua duduk.

"Berhenti di situ Ya" gua bangkit dan menghentikan langkah Lia, lalu berdiri di depannya.

Lia mematung, kayaknya belum ngerti apa maksud gua. Gua tarik kedua tangannya yang dingin memeluk leher gua, then I pull her closer  dengan tangan gua di pinggang Lia.

"Kalau lagunya udah mulai lagi, we'll dance like that old day ya, Ya" gua berbisik.

Lia agak terkejut namun lantas tersenyum dan mengangguk, entah gua yang salah liat atau gimana, but I think I saw tears on her eyes, tapi Lia sama sekali ga keliatan sedih kok.

Gua menarik nafas panjang ketika lagu mulai mengalun kembali. Lia menutup matanya selama beberapa detik lalu mengikuti gerakan lembut gua yang mengajaknya berdansa. Sama persis seperti entah berapa tahun yang lalu. Proses chemistry building yang ternyata terlalu berhasil, sampe bikin gua dan Lia terombang-ambing oleh perasaan yang muncul tanpa kami minta, yang membuat kekacauan entah berapa banyak, sebelum akhirnya bisa jadi kayak sekarang ini, sehingga gua dan Lia bisa berdansa lagi, as a couple who admit that they love each other.

Gua dan Lia saling tatap, hanyut dalam pikiran kami masing-masing. There are too much things that each of us wants to explain, but once our eyes meet, they all diminished. Memori yang sama berputar di kepala kami berdua.

"Makasih ya Baal" bisik Lia ketika tangan gua lembut mengelus punggungnya.

"Makasih kenapa?" tanya gua tanpa menjauhkan kening kami berdua yang bersenntuhan satu sama lain.

"Semuanya. Aku ga nyangka kita bisa sampe di sini" katanya sambil mempererat pelukannya.

"Aku juga" jawabku

Lia menarik kepalanya, tersenyum manis sekali.

"I love you" katanya.

Di masa lalu, gua cuman bisa teasing her, mendekatkan muka gua ke dia dengan mata setengah tertutup seolah-olah mau nyium Lia, tapi mengurungkannya. But things are different now. Gua udah ga perlu lagi pura-pura.

Gua tarik Lia makin merapat, sebelah tangan gua berpindah dari pinggangnya, mengelus pelan sisi kepala Lia, dan menyelipkan anak-anak rambutnya ke belakang telinga. Lagi, Lia tersenyum dengan tatapan yang teduh banget. Damn, I'll do anything biar bisa terus dapet tatapan begini dari Lia.

Lia paham apa yang mau gua lakuin, dia menutup mata tanpa melepaskan tangannya dari leher gua. Kaki kami masih bergerak seirama dengan alunan lagu yang entah sudah putaran ke berapa. Gua sedikit memiringkan kepala gua, dan sama seperti Lia, gua pun menutup mata sambil makin mendekat ke tujuan gua, bibir Lia.

Gua kecup bibir Lia lembut, dan bertahan di sana selama sekian detik, sebelum Lia membalas ciuman gua dan membuka bibirnya, mempersilakan gua memagutnya lebih dalam.

"I love you, Lia, I always do"

Lia makin mempererat pelukannya.

"I love you, Ya" lagi, gua membisikkan kalimat yang sama. Dada gua rasanya sesak saking bahagianya, perut gua penuh dan geli, kayaknya ada ratusan kupu-kupu beterbangan di sana.

Tidak ada penolakan sama sekali dari Lia ketika tanpa mengakhiri ciuman kami, gua dorong dia mundur menuju ranjang. Gua mabuk, Lia bener-bener bikin gua lemah.

Ciuman kami masih berlanjut sekalipun tubuh Lia sudah tidak lagi berdiri sejajar dengan gua, melainkan berbaring diantara selimut yang belum sempet gua rapiin tadi. Gua beralih dari bibir ke leher Lia, menghirup wangi vanilla yang bikin gua makin ga waras.

"Baaallll...." Lia mengerang tertahan sambil mengacak rambut gua ketika bibir gua mendarat di sisi lehernya, her favourite place.

"Your scent drives me crazy" bisik gua lagi, yang dijawab Lia dengan mengecup bahu gua. Shit, man.

"Make love to me, Ya, make love to me" gua gigit leher Lia, kemudian bangkit dan menarik lepas kaos gua, melemparkannya sembarangan dan kembali menghujani bibir Lia dengan ciuman, a demanding kiss.

Gua merasakan tangan Lia meraba halus punggung gua, yang akhirnya bikin gua sadar, menarik diri dari Lia, dan berbaring telentang di sampingnya dengan nafas yang susah gua kendaliin, sama seperti yang sudah-sudah.

"Bibir kamu manis, rasa jeruk" kata Lia sambil berguling mendekat ke gua.

"Jangan deket-deket, tegangan tinggi ini, Ya"

"Hahahaha, nakal ya kamu" Lia mencubit gemas hidung gua, a tiny gesture that I love.

"Mandi gih Sayang, I'll prepare the dinner" katanya kemudian sambil bangkit dan membenahi 2 kancing teratas piyamanya yang terbuka tadi.

"Bentar aku nafas dulu... Anduknya dimana?"

"Aku udah siapin di dalem kok"

"Ya" panggil gua, yang membuat Lia berhenti sebelum mencapai dapur dan menoleh.

"Sampe Jakarta kita nikah aja beneran ya, jangan cuman pameran baju nikahan" kata gua menggodanya sambil memungut kaos gua di lantai.

"Ishhh, apa sih kamu Yang, hahahaha, udah sana mandi"

"Yah, kasian, ternyata lamaran Iqbaal Ramadhan ditolak Nona Vanesha, aku lapor ke media ah, biar viral"

"Baal, udah deh, mandi ga?" Lia berkacak pinggang, pura-pura marah padahal mukanya gemes banget, tapi tak urung bikin gua melangkah juga ke kamar mandi.

Sabar Baal, sabar, tungguin, nanti kalo udah jadi istri bebas mau ngapain aja, hahahaha.


Melbourne ApartmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang