Chapter 18 : Rencana Bisnis

116 17 0
                                    

"Sri, maaf ya udah nunggu lama." Setelah mengambil posisi duduk berhadapan dengannya, aku pun memanggil pelayan kafe untuk memesan segelas vanilla latte. "Kamu mau pesan lagi?"

"Em, engga Lan, Ini aja udah cukup," kata Sri seraya menyunggingkan senyuman terbaik milikknya.

Sambil menunggu pesanan minumanku datang, kami mengobrol banyak tentang segala hal. Mulai dari bagaimana awalnya para karyawan dan Pak Gunawan pada akhirnya mengundurkan diri, sampai kembali membicarakan tentang sikapku pada Sri pada saat di dalam bus waktu itu. Ketika Sri mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah pada foto Karen yang kuperlihatkan, aku telah berpikiran yang tidak-tidak tentangnya.

Sebenarnya ini terlalu memalukan bagiku untuk menceritakan tentang pengkhianatan Karen kepada Sri. Mengingat bagaimana cara wanita itu mencampakkanku dan mempermalukanku di hadapan selingkuhannya. Sri pasti akan mengira aku ini pria bodoh yang lambat dalam menyadari dan juga tidak peka dengan kekasihnya sendiri. Namun pada akhirnya aku pun memutuskan untuk bercerita terlepas dari semuanya.

Berbeda dari apa yang aku bayangkan, kupikir awalnya Sri akan menertawakan aku, akan tetapi nyatanya sekarang dia masih saja diam mendengarkan dengan tenang. Dan setelah aku selesai, wanita berlesung pipi itu tersenyum dan kembali menyeruput minumannya, sebelum pada akhirnya menyemangatiku.

".... Tenang saja, masih banyak wanita di luar sana yang jauh lebih baik dari Karen. Lagipula masih baik kamu mengetahui semua kebenarannya sebelum kalian berkomitmen untuk kejenjang yang lebih serius." Setelah mengatakan hal itu dia tersenyum dengan sangat hangat, aku dapat merasakan ketulusannya. "Suatu saat pasti akan datang wanita baik yang akan mengobati rasa sakitmu."

"Yah, contohnya aja ... eh, pesanan kamu kok belum datang-datang ya, Lan?" kata Sri dengan raut wajah memerah, entah mengapa dia berubah menjadi salah tingkah dan mencoba mengalihkan pembicaraan sebelumnya.

"Maksudmu contoh apa tadi?"

"Engga, bukan apa-apa."

Setelah pelayan kafe itu datang dan menyajikan pesananku, pembicaraan kami pada saat itu juga pun berakhir. Tak lama begitu aku selesai menghabiskan segelas ice vanilla latte, segera aku melirik ke arah jam tanganku dan mendapati bahwa jarum pendek itu sudah menunjukan angka sembilan. Kami berdua pun sepakat untuk beranjak dari kursi dan menuju ke arah kasir. Tentu, aku tidak melupakan janji untuk mentraktir Sri, jadi aku yang membayarkan pesanan kami berdua. Dia awalnya menolak gagasan itu, mungkin ya dia pikir dalam masa-masa sulit seperti ini sangat sembrono untuk mentraktir orang lain. Secara kita berdua sama-sama pengangguran dan tidak memiliki tabungan yang cukup dari hasil bekerja sebagai pesuruh perusahaan.

Hanya saja, pada akhirnya aku berhasil meyakinkan dia bahwa aku lebih dari mampu untuk membayarnya, dan juga memberi penjelasan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena aku ini masih memiliki banyak simpanan uang dari warisan peninggalan kakekku. Memang ini terdengar seperti terlalu mengada-ada, dan kurasa Sri juga menyadari akan hal itu. Namun untung saja Sri ini termasuk wanita yang pengertian. Dia pun pada akhirnya tidak mempermasalahkan hal itu dan mempersilahkan aku untuk membayarkannya, kemudian dia berterimakasih.

Kami berdua pun keluar dari kafe dan langsung berjalan menuju kediaman rumah Pak Gunawan. Sekitar kurang lebih lima belas menit, dengan arahan dari Sri kami pun tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar, berlantaikan dua dan memiliki beberapa luas pekarangan. Sejenak aku pun menatap gerbang rumah Pak Gunawan ini dengan pandangan rumit. Dalam hati aku sungguh berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan memastikan Pak Gunawan dan karyawan lainnya setidaknya dapat terus hidup layak seperti saat mereka masih bekerja di tempat sebelumnya.

Suara bel pun berbunyi. Sri membuyarkan lamunanku ketika menekan tombol bel rumah Pak Gunawan ini. Tak lama seseorang pun datang menghampiri kami berdua dan membuka gerbang. Setelah beberapa saat mengutarakan keinginan kami untuk bertemu dengan Pak Gunawan, Bibi ini dengan ramah mempersilahkan aku dan Sri masuk dan menunggu di ruang penerimaan tamu. Bibi bernama Rose ini kemudian masuk lebih dalam untuk memberitahukan kepada Pak Gunawan yang sedang berkebun di belakang. Selang beberapa menit Pak Gunawan pun muncul dari pengelihatan dan terlihat terkejut dengan kehadiran kami berdua.

"Saya pikir tadinya orang lain, ga taunya itu benar-benar kalian yang datang." Pak Gunawan pun terkekeh seraya mengambil posisi duduk di hadapan kami berdua, lalu melanjutkan perkataannya. "Jadi, ada yang bisa saya bantu? Apa Nak Roy masih mengganggu kalian?"

Kami berdua saling bertatapan, kemudian aku pun memutuskan untuk menjawab. "Sebenarnya ini tidak ada hubungannya dengan dia sih, Pak. Ini murni keinginan saya untuk bertemu dengan bapak dalam rangka membicarakan tentang keinginan saya untuk mengajak Pak Gunawan membuka bisnis baru. Dalam hal ini saya berniat membuka usaha kuliner, hanya saja saya tidak memiliki pengetahuan untuk memulainya. Mungkinkah Bapak tertarik untuk membantu saya mengisi posisi sebagai seorang CEO?"

"Saya tidak salah dengar kan, Lan?" Kulihat Pak Gunawan tersentak dan memasang ekspresi rumit di wajah. Sangat yakin, Pak Gunawan pasti berpikir bahwa aku sedang bercanda. Bahkan Sri saja yang mendengar ikut membelalakkan mata karena tidak percaya. "Maaf, bukan maksud saya untuk menyinggung kamu, Lan. Hanya saja melihat bagaimana kondisimu saat ini ...."

"Pak Gunawan harap yakin dengan perkataanku barusan. Saya memiliki lebih dari cukup uang untuk membangun usaha ini. Saat ini saya hanya membutuhkan tenaga ahli untuk mendirikannya."

"Baiklah, saya akan percaya kamu, Lan. Kalau begitu bisakah kamu katakan berapa banyak uang yang kamu miliki saat ini untuk memulai usaha? Dengan begitu saya bisa mempertimbangkan strategi apa yang cocok untuk membangun fondasinya."

Segera aku pun tersenyum lega dan mengangkat jari telunjukku, alih-alih menjawabnya secara lisan.

"Satu juta?"

Aku menggelengkan kepala.

"Sepuluh-"

Aku menggelengkan kepala.

"Seratus?"

Aku menggelengkan kepala.

"Mungkinkah itu seratus ribu? Alan, uang dalam jumlah itu sangatlah sedikit untuk memulai sebuah usaha." Pak Gunawan pun menghela napas berat, dia sepertinya telah menyerah untuk menebak langsung berapa banyak itu.

Untuk kesekian kalinya aku pun menggelengkan kepala. Sebelum pada akhirnya mengatakan yang sebenarnya kepada Pak Gunawan dan juga Sri dengan pembawaan yang santai. "Sebenarnya jika saja saya tidak menggunakan beberapa uang itu untuk membayar sewa dan beberapa tunggakan apartemen, totalnya haruslah sebesar satu miliar."

SISTEM KEHENDAK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang