Chapter 2 : Ingatlah Baik-Baik Perkataanku

341 20 0
                                    

Aku melangkah keluar dari gedung perusahaan ini. Dengan napas berat aku merenggangkan kedua tangan ke atas sembari menguap. Lelahnya, seharian aku mengepel lantai dan membersihkan perabotan kantor. Diam-diam aku mengendus aroma badanku yang sedikit bau karena berkeringat, aku tidak tahan lagi, secepatnya aku harus cepat pulang dan membersihkan diri.

Seperti biasanya, aku datang ke halte bus terdekat. Sebentar aku melirik ke arah jam tangan tak bermerek ini dan mendapati bahwa bus yang akan datang nanti adalah bus terakhir yang searah dengan tempat apartemenku berada. Sabar, masih sepuluh menitan lagi busnya baru datang. Tanpa sadar pun aku hanyut dalam pandangan mobil dan kendaraan umum yang berlalu lalang. Lagi-lagi aku memikirkan tentang nasibku ini yang sangat miskin. Bagaimana nanti aku bisa hidup kedepannya, apa aku bisa membiayai hidup Karen juga bila kita sudah menikah nanti? Bagaimana ya keadaan ibu dan ayah di kampung halaman? Yah, banyak hal yang membuatku melamun ketika menunggu bus itu.

Sampai seseorang datang dan membangunkan aku. Dia mengagetkanku sampai aku tersentak. Oh, rupanya Si Sri yang baru saja datang dan mengguncang tubuhku secara tiba-tiba. Dia datang dengan senyuman lebar dan langsung mengambil posisi duduk di sebelahku.

"Gimana Al, apa kamu udah kepikiran mau ngapain liburan nanti?" Sri bertanya sambil memainkan sedotan yang berada di dalam gelas tehnya. Sesekali dia meminumnya ketika mengobrol bersamaku.

"Belum tau juga sih, tapi kayanya aku bakal menyiapkan satu hari untuk pergi melihat Karen."

"Oh, jadi begitu." Sri menjadi terdiam dan memandangi jalanan dengan cara yang aneh. Seperti kecewa? Meski aku tidak bisa mengetahui apa isi pikirannya, akan tetapi aku bisa merasakan hawa di sekitar menjadi berubah begitu saja. Mungkinkah, aku lagi-lagi membuatnya berharap?

Tidak, tidak, aku tidak boleh membuatnya sedih. Lebih baik aku pergi dan mencari taksi untuk pulang, tidak bisa terus dekat dan satu bus bersama Sri.

"Ya Tuhan! Sepertinya aku meninggalkannya di lokerku! Sepertinya aku harus balik ke kantor sekarang juga untuk mengambilnya. Sri, maaf kamu duluan saja."

Beranjak dari tempat duduk, aku berniat untuk melangkah pergi meninggalkan halte itu. Namun, Sri dengan cepat meraih tanganku dan bangkit dari kursinya. Kemudian dia berkata, "Tunggu, Al. Biar aku aja yang pergi, kalau kamu memang ga suka deket-deket sama aku."

"Eh, bukan begitu, Sri." Aku buru-buru menyangkal kesalahpahaman ini, dan kemudian kami duduk kembali dan mengobrol sambil menunggu bus itu datang. "Entah aku harus mulai berbicara dari mana, tapi yang jelas Sri, aku hanya tidak ingin membuatmu sakit hati. Kuharap kamu mengerti, ini juga karena aku sering tanpa sadar membuatmu sedih. Sungguh, aku tidak ingin memberi harapan padamu, aku benar-benar sudah memiliki seorang kekasih."

Untunglah, daerah di sekitar halte itu sepi. Dan di sana hanya ada aku dan Sri yang sedang menunggu bus selanjutnya datang. Setelah aku memuntahkan seluruh isi pikiranku kepadanya, bukannya Sri menjadi tambah sedih, lah ini yang ada malah sebaliknya. Dia menertawakanku dengan puas seraya memegangi perutnya karena saking lucunya.

"Kok malah ketawa sih, aku serius ngomongnya ini."

"Lagian kamu ini ada-ada aja, deh. Kukira kamu itu belakangan ini menghindar karena jijik gitu deket sama aku. Eh, ga taunya cuman karena alasan klasik kaya ginian." Sri mencoba berhenti menertawakan aku, tapi rupanya itu masih belum cukup juga?

"Al, dengerin aku ya. Mungkin memang aku sedikit sedih sih ya karena kamu udah punya kekasih di luar sana. Tapi yah, lebih sakit rasanya kalau kamu menghindari aku karena alasan tidak masuk akal itu, bilang ga mau aku sakit hati lah, ga mau aku berharap lah. Lagian ya, kalau orang suka itu ga mesti harus memiliki, kan? Dan di sini hanya cinta bertepuk sebelah tangan, tidak ada yang perlu dipusingkan. Kamu cukup anggap saja aku sebagai teman atau rekan kerja seperti biasanya, lebih baik seperti itu."

Sri pun tersenyum, kali ini dia memang terlihat lebih baikan setelah aku memberitahukan alasanku belakangan ini menjauhinya.

"Itu busnya, ayo naik." Sri bangkit dan pergi lebih dulu masuk ke dalam bus. Sementara aku masih tersenyum dan menghela napas lega, sebelum pada akhirnya ikut masuk ke dalam bus itu mengikuti Sri.

Di dalam bus kami tidak banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol, hanya sempat Sri memintaku untuk memperlihatkan bagaimana penampilan Karen dari galeri ponselku. Sebenarnya aku menolak untuk memberikannya, tapi setelah Sri ribut mulu dan terus menggangguku, maka kuputuskan  untuk menunjukannya. Sri pun mengangguk puas setelah melihat foto itu yang mana memperlihatkan aku dan Karen yang sedang berfoto saat masih sekolah dulu.

"Menarik, rupanya tipe wanita yang kamu sukai seperti itu."

"Apa ada yang salah?"

Sri hanya tersenyum dan mencoba menggodaku. Kemudian setelah dia merasa puas, dia pun melanjutkan, "Dia memang pantas, sampai mampu membuatmu jatuh hati hanya dengan sikapnya yang begitu manis, benar begitu?"

"Tapi Al, aku tidak tau apakah aku harus mengatakan ini atau tidak. Namun, karena pertemanan di antara kita, aku masih harus mengatakannya demi kebaikanmu. Sepertinya, kekasihmu yang bernama Karen ini bukanlah wanita baik-baik."

"Maksudmu apa, Sri?" Aku spontan menaikan nada bicaraku dan mengernyitkan alis karena tidak suka dengan perkataannya barusan. "Maaf, aku hanya tidak menyangka kamu sampai hati menjelekan dia di hadapanku. Bahkan kamu saja belum pernah bertemu dengannya, lantas atas dasar apa kamu bisa menilainya?"

"Tunggu Al, aku belum selesai berbicara." Sri pun buru-buru meluruskan bahwa ini tak semata-mata hanya perkataan yang tidak berdasar. Yah, aku menghela napas dan mencoba menenangkan diri dan mendengarkan kelanjutan dari perkataannya.

"Begini, coba lihatlah kembali foto yang kamu tunjukan sebelumnya."

"Memangnya ada apa?"

"Sudah, perlihatkan saja lagi," kata Sri yang masih memaksaku untuk menunjukan fotoku bersama Karen itu lagi padanya.

Setelahnya, kubukalah kembali galeri ponselku dan memperlihatkannya sesuai kemauan dia. Karen pun mengangguk dan melanjutkan, "Nah, iya ini. Lihatlah baik-baik, apa kamu tidak menyadari kejanggalan ada padanya?"

Berulang kali aku melihat ke arah foto itu, tapi aku tidak juga menemukan sesuatu hal yang aneh dan mencurigakan. Setelah beberapa saat aku mencari dan tak menemukan maksud dari perkataan Si Sri, aku pun melirik ke arahnya dengan tatapan skeptis.

"Ayolah, masa kamu ga ngerasa aneh sama sekali waktu itu?" Kulihat dia menghela napas seperti orang yang menyerah padaku, maka dari itu aku masih mencoba untuk mencari tahu. Namun, hasilnya tetap saja aku tidak mengetahui apapun yang dia maksudkan.

"Sumpah deh, kamu ini emang ga tau apa aja yang dipakai kekasih tercintamu ini? Baju, celana, tas, jam tangan, sepatu, apa kamu tau harga sebenarnya dari barang-barang mewah ini?"

"Mewah katamu? Apa kamu tidak salah melihat? Jaketnya saja aku yang belikan, harganya juga cuman seratus ribuan. Bukankah sudah pernah kuceritakan? Kondisi finansial Karen tidak jauh lebih baik dari keluargaku, mana mungkin dia mengenakan barang-barang mahal."

Sulit aku mengerti jalan pikiran Sri. Mengapa juga dia menyimpulkannya hanya dengan melihat dari foto? Memangnya dia tau harga dari semua barang-barang itu?

"Tapi, Al...."

"Sudahlah, Sri. Kita lanjut obrolan kita selepas liburan, aku sudah sampai pada pemberhentianku." Setelahnya aku mengucapkan salam kepadanya. Lalu, membayar ongkos bus itu dan segera turun.

Memang, kali ini Sri sudah melewati batasannya. Tidak seharusnya dia mencoba membuatku ragu pada Karen. Sudah jelas kekasihku itu tidak mungkin menyembunyikan sesuatu padaku, dia selalu terbuka tentang segala hal, sampai kondisi di dalam keluarganya yang buruk saja aku mengetahuinya. Lupakan, cukup sampai di sini dan aku tidak ingin memikirkannya lagi.

SISTEM KEHENDAK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang