Bab 1. Kebetulan

7.7K 287 84
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Ajiblah, lo gak pernah akur sama sodara tiri lo, tapi bisa akrab sama pacarnya."

~~•~~

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Seseorang dengan surai yang dikucir kuda menghela napas. Kelopaknya menyipit ketika menengadah ke langit. Hari ini cerah. Sejauh memandang, hanya ada langit biru muda dengan awan putih bertebaran.

"Panas banget," keluhnya sambil mengibaskan tangan di sekitar kerah. Angin bahkan tidak mampu mengusir gerah.

Sebuah bus melintas, berhenti untuk kembali mengangkut dan menurunkan belasan orang dengan tujuan beragam. Di saat yang lain berbondong memasuki kotak besi bermotor tersebut, gadis itu tetap pada posisi duduk.
Memandang dengan tatapan kosong.

"Ily!" Si pemilik nama menoleh ke kiri.

"Loh, Kak Halim." Mata bulat Ily melebar, ragu dengan sosok yang baru saja menyapa.

"Ngapain duduk di sini?" tanya orang itu lagi.

Ily diam. Seharusnya dia yang bertanya begitu. Bagaimana ceritanya orang bermobil tiba-tiba berkeliaran di pinggir jalan, tengah hari pula.

"Kak Halim, kenapa bisa kesasar sampe halte?" Tawa lelaki di sebelahnya meledak seketika, membuat Ily mengerutkan dahi.

"Dari dulu, lo kalo nanya gak pernah bener, bikin ngakak mulu," kekehan Halim bersambung lagi.

Ily tak pernah tahu ada istilah salah dalam sebuah pertanyaan. Mentor melukisnya semasa SMA ini memang memiliki banyak kalimat abstrak. Seabstrak mahakaryanya yang berulang kali membawa nama seorang Halim Fausta dikenal sebagai seniman muda Indonesia.

"Emang tadi gak liat gue turun dari bis?" Ily menggeleng kecil.

Halim kembali berujar, "Pantes melengos pas gue senyumin. Lagian ngapain mbambung¹ di sini, gak sekolah?"

"Enggak, udah free. UN udah selesai, terus 27 April kemaren acara kelulusan, tinggal tunggu UTBK aja. Dari pada nganggur di rumah, mendingan aku cari kerja. Pengen banget bantu ekonomi orang tua."

Suara kendaraan bermotor menyamarkan keheningan di antara dua manusia itu. Ily mengetukkan pelan flat shoes hitamnya ke tanah. Kelihatannya sudah lumayan lama juga ia termenung di sini.

"Eh, Ily tunggu sebentar!"

Baru saja berdiri, tapi lelaki itu sudah lebih dulu mencekal tangan Ily. Membuat gadis itu mengurungkan niat untuk pamit pulang.

"Gue punya temen yang kerja part time di cafe. Kebetulan lagi kurang orang, lo tertarik gak?"

Berkedip sekali, Ily mengangguk semangat. Kembali duduk dan menghadap penuh ke arah Halim. Kalimat pemuda itu sukses membuat bunga-bunga bermekaran di dada Ily. Semua kegerahan mendadak lenyap begitu saja.

"Di daerah mana cafenya?"

Bukannya menjawab lelaki itu malah menarik gemas rambut hitam sepunggung Ily. Lalu tersenyum simpul. Dari jaman SMA, Halim memang hobi melakukan itu.

"Beneran gak, sih, apa cuma boongan doang, ya. Pasti lagi nyari temen becanda. Maap nih, tapi aku udah gak segabut dulu lagi," gerutuan Ily malah semakin membuat senyum Halim kian melebar.

"Bawa CV kan?"

Ily mengangguk kecil. Tentu saja dia bawa karena sejak awal niatnya ingin cari kerja. Kenapa hal seperti itu mesti ditanyakan lagi oleh Halim? Heran. Pakai pelet apa dia sampai-sampai bisa membuat Ily betah berada di dekatnya.

GravihatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang