Bab 12. Positif

2.3K 112 2
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Ily menyeka mulut dengan air yang mengucur dari wastafel. Sudah lima hari ia selalu begini. Muntah di tempat kerja. Tangan bergetarnya mengusap wajah. Ia tak tau harus bagaiman jika dia benar-benar hamil. Air mata merebak, ia menangis frustasi. Sudah lebih dari sebulan masalah ini tak kunjung mereda.

“Ily, lo lupa gue pernah bilang apa. Jangan nangis di sini.” Lagi-lagi Nada memergoki Ily menangis untuk kedua kalinya.

“Kayanya lo emang butuh temen curhat. Ayo, ngobrol sama gue di tempat lain.” Diam. Ily masih bergelut dengan sisa kesesakkan dadanya.

“Gue udah ambil tas lo, nih. Yok, ke bakso jumbo.”

Ily membuka pintu bilik kamar mandi. Mata sembab dan pipi yang lengket, wajah Ily sangat menyedihkan. Nada merogoh tas selempangnya. Menyodorkan facial foan kemasan kecil pada Ily.

“Cuci muka dulu, biar seger.”

“Makasih.”

Sementara Ily mencuci wajahnya. Nada mulai bergumam, membuka percakapan. “Jadi, abis ini kita ke rumah makan bakso jumbo, ya?”

Ily dengan mata terpejam, menegakkan wajahnya yang penuh dengan busa. Ia menggeleng cepat.

“Eh, kenapa?”

Suara air mengucur menjadi pengisi keheningan kamar mandi. Ily menutup keran air. Ia berbalik badan.

“Bau baksonya bikin aku muntah.”

Tak cuma wajah, tapi suara Ily lebih terdengar segar ketimbang yang tadi. Nada menyerahkan tas yang Ily minta.

“Bukannya lo suka bakso? Tiga minggu lalu, pas Rendi bagi-bagi bakso juga lo makan, kan?”

Kegiatan Ily mengeringkan wajah terhenti sejenak. Ia melirik Nada sekilas. Akhir-akhir ini, Ily merasa Nada terlalu banyak menaruh perhatian padanya.

“Tiga hari lalu di rumah ... karena bakso gue jadi mual dan muntah.”

“Yaudah kalo gitu ke warung seblak aja.”

Tak jauh dari rumah makan bakso jumbo, ada kedai mie super seblak, yang konon katanya memiliki cita rasa sepedas setan. Di sinilah Ily, duduk sambil menyantap mie super seblak level 1. Level itu sudah cukup membuat Ily meminum es teh berulang kali. Sampai perutnya terasa sangat kembung.

“Seger kan?”

Ily mengangguk setuju. “Tapi pedes banget. Gila,” komentar Ily seraya mengangkat lagi gelas es teh milik dia.

Di hadapan Ily, Nada tersenyum. Perempuan yang lima tahun lebih tua dari Ily itu sudah selesai dengan mangkuk seblaknya. Tak lama Ily juga menyusul.

“Ily sebelumnya gue minta maaf. Bukannya gue mau ikut campur, tapi gue tau persis apa yang lagi lo alami.” Ily membisu, menatap lurus manik kecoklatan Nada yang juga menatap dirinya.

“Seperti yang pernah gue omongin seminggu lalu, kelelahan, beser, terus muntah, itu semua tanda-tanda kehamilan. Dulu, gue juga ngalamin hal yang sama.”

Dahi Ily mengernyit, maksudnya Nada pernah hamil. Berarti dia sudah punya anak. Tapi, kenapa mengaku pada Ily, kalo dia masih single.

“Empat tahun lalu, pas kuliah gue masih semester dua. Gue hamil. Orang tua kecewa dan mutus pendidikan gue gitu aja. Tiga bulan gue berhasil nyembunyiin itu, tapi yang namanya nyimpen bangke lama-lama bakal kecium juga. Malangnya gue ditinggal gitu aja sama cowok brengsek itu. Cinta dia cuma bullshit.

Hidup gue hancur. Hari-hari sebelum rahasia terbongkar, gue cuma bisa ngerasain kegelisahan, takut, frustasi. Bahkan gue nyesel karena pernah mengenal cowok sialan itu.”

GravihatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang