Bab 27. Tumben Manja

2.1K 114 2
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Sudah hampir dua bulan berlalu sejak Ily menikah. Sekarang ini, ia berniat untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Rumah masih sepi, seperti biasa pintu terbuka tapi di teras rumah tak ada siapa-siapa. Mungkin ibunya sedang di dapur sekarang.

“Assaamualaikum, Bu.”

Diluar dugaan Ily. Bukan ibunya yang keluar, melainkan Dipta. Ayahnya melihat Ily dengan tatapan tidak bersahabat.

“Ngapain kamu ke sini?”

“Ratna kangen sama bapak, sama ibu. Ratna juga pengen liat keadaan bapak.” Ily mengatakannya dengan nada lirih, entah ayahnya dengar atau tidak.

“Saya tidak peduli dengan keinginanmu itu, tidak perlu mengakhawatirkan saya. Karena saya bukan siapa-siapa lagi untukmu.” Lagi-lagi Dipta masih tidak bisa memaafkan Ily.

“Pak, apa kesalahan Ratna masih gak bisa dimaafin? Ratna memang keterlaluan Pa—”

“Bukan cuma keterlaluan. Tapi kamu juga sudah mengkhianati bapak sama ibu.” Ily tengah berusaha mati-matian untuk menahan air matanya.

“Ketika kamu melakukan kesalahan tersebut, saat itu juga Ratna sudah menentukan keputusan untuk memilih laki-laki itu, kan?”

Ily tak pernah berpikir sampai ke sana. Ya, Ily memang bodoh sekali. Masa depan ia pertaruhkan untuk cintanya pada Gravi.

“Bapak memang enggak dekat sama kamu, Na. Tapi bapak pengen Ratna jadi orang sukses. Bapak ingin, anak bapak yang paling patuh dan pengertian ini, bisa dapat hidup lebih layak kelak saat dewasa nanti.”

Ily hanya tertunduk, menangisi waktu dan semua yang sudah ia  lakukan sebelumnya. Sangat menyesal. Perasaan itu yang terus saja menghantam dadanya.

“Kamu adalah simbol kegagalan saya mendidik anak. Sekarang pergi dari rumah saya!”

Ily menggeleng, dia melangkah mendekati sang ayah. Bersujud di kaki Dipta. “Maafin Ratna, Pak.”

Lelaki hampir setengah abad itu mundur ke belakang. “Maaf yang kamu ucapkan tak akan berarti lagi. Keadaannya tak akan pernah bisa berubah.”

“Pergi!” bentak Dipta.

Ily menangis tersedu di lantai teras. Masih dengan posisi bersujud, tiba-tiba Shinta datang. Menarik bahu Ily, memintanya untuk berdiri. Ily langsung saja memeluk erat ibunya, masih dengan menangis pilu.

“Ratna minta maaf sama ibu sama bapak,” ada isakkan di sela kalimatnya.

“Pak, diliatin tetangga itu. Apa enggak malu?”

Dipta mendengus kasar, “Bapak udah menanggung malu sejak suaminya itu datang ke rumah mengakui semua.”

“Sekarang pergi! apa lagi yang kamu tunggu?” Ayahnya benar-benar terlihat sangat marah saat ini.

“Pergi sana!” serunya lagi dengan nada tinggi. “Biarin dia sendiri, Bu!” lalu menarik Shinta dan melepaskan pelukan anak dan ibu itu.

“Bu ... hiks, sebentar Bu. Biarin Ratna ambil buku di dalem.”

Dipta membuka pintu lebar, membiarkan Ily mengambil bukunya. Tak ada lagi ucapan meski hanya satu kata pun. Hari itu, ia pulang ke apartment dengan derai air mata untuk yang kesekian kalinya.

“Ily, Ily ... kamu kenapa?”

Pintu terbuka kasar, sampai membentur dinding kencang. Lampu di kamar menyala, ruangan seketika menjadi terang benderang. Gravi menutup jendela beserta tirainya.

“Sayang, kenapa?”

Wajah Gravi tepat berada di depan wajah Ily yang beralaskan bantal. Lelaki itu duduk di lantai, di sisi ranjang tempat Ily berbaring saat ini. Wajah lelah bercampur khawatir Gravi terekam jelas di kepala Ily.

GravihatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang