Bab 38. Jeda atau Berakhir

2.8K 126 3
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Ily termenung duduk pada lantai di dekat dinding kaca. Memandangi kota kecil tempat kelahirannya dari gedung apartment. Hari-hari setelah kematian bayinya, Ily hanya rasakan kesepian. Tak ada lagi yang merespon ucapan dia dengan sebuah tendangan halus.

Air mata membasahi ujung mata Ily lagi. Jemari lentik perempuan itu menghapus air bening dengan kasar. Ia sudah lelah menangis, ingin berhenti, tetapi malangnya tetap saja tidak bisa.

"Ly, aku berangkat kuliah dulu."

Suasana ini selalu berulang. Ily termenung dengan Gravi yang pergi begitu saja. Gravi tak sedikit pun mencoba untuk mendekati Ily, menenangkan, atau sekedar menghibur. Gravi malah menjauh akhir-akhir ini. Dia selalu menghindar, seolah tak ingin berada di dekat Ily.

Tak seperti Ily yang sedang bersedih. Gravi justru semakin sibuk dengan kegiatan kuliahnya. Bahkan di saat Ily kemarin masih terbaring di rumah sakit untuk masa pemulihan.

Ily berdiri memandang apartment yang kosong. Ily bosan berada di tempat ini, ia juga bosan sendirian. Untuk kedua kalinya, Ily merasakan ketidak adilan. Ketika ia merasa kebosanan berdiam di rumah, Gravi sedang bersenang-senang bertemu temannya di kampus.

Ily melangkah menuju kamar, meraih gawai hitam di meja nakas. Ily jenuh sekali. Dibukanya aplikasi instagram. Sudah sangat lama Ily tidak menye-croll beranda akun IG-nya.

Banyak sekali posting-an foto teman-temannya dengan balutan alamamater berpose di depan gedung kampus. Kemudian foto-foto ketika masa ospek. Teman-teman baru, tugas kuliah pertama, ujian pertama. Tak terhitung, terlalu banyak yang terjadi selama lebih dari tujuh bulan ini.

Jujur Ily iri. Dia ingin sekali merasakan kehidupan kampus. Ia juga ingin meraih kembali cita-citanya. Tiba-tiba terbesit di kepala Ily untuk kembali pulang ke rumah orang tua, tapi bagaimana jika Gravi tidak membolehkan.

- Pukul 18.43 WIB -

Ting nong ... Ting nong ....

Ily mengalihka fokus dar layar televisi. Siapa yang datang berkunjung, Halim kah atau ibu mertuanya. Memastikan penampilannya sudah oke, Ily mulai mengayunkan kaki ke ruang tamu.

Ditariknya kenop pintu, betapa terkejut Ily ada Gita di depan apartment-nya. Gadis itu langsung menerjang dan memeluk Ily kuat-kuat.

"Gue kangen banget sama lo, Ly."

Ily melerai pelukan, menatap wajah sahabatnya. "Gue juga kangen sama lo."

"Ya udah yuk, masuk dulu, Git," sambung Ily menarik masuk sahabatnya lalu mendorong gadis berambut gelombang ini duduk di sofa.

"Bentar, gue bikinin minum dulu."

Tak lebih dari sepuluh menit. Ily kembali dengan secangkir teh dan setoples kripik singkong. Mendudukan diri di sana, dia lantas mengulas senyum.

"Tumben banget Git ke sini sendiri. Kenapa gak nunggu Mega liburan?"

Kening Gita mengernyit di antara kegiatannya meminum teh. Diletakkan perlahan cangkir teh tersebut.

Ia langsung berceletuk, "Kok malah tumben, sih. Bukannya lo sendiri yang minta gue dateng ke sini?"

"Hah. Kapan gue ngomong gitu, enggak, ah. Lo mimpi kali."

Gita memekik kecil, "Anjir, enggak ya. Bentar."

Gita mengaduk isi tas, menarik keluar benda persegi bewarna putih. Menekan-nekan layarnya lantas menyodrokan benda itu pada Ily.

"Lo baca."

Melirik sekilas pada Gita, Ily menyambut uluran tangan gadis itu. Ia mengambil alih benda tersebut, lantas mulai mematut layarnya. Ily terkekeh melihat nama kontak yang Gita berikan. Kemudian manik Ily menari disetiap deretan kata pada bubble chat.

GravihatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang