Bab 6. Apartment Gravi

2.4K 123 5
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Mana ada cinta hilang karena sebuah kesalahan, yang ada malah kesalahan itu akan selalu termaafkan."

~~•~~

Di bawah lampu berdaya lima watt bernyala temaram, Ily meneliti setiap inci wajah melalui cermin di wadah bedak. Air muka kuyu, mata lebar juga sayu, bibir yang hampir menyerupai garis, pipi berisi, dan dagu jauh dari kata lancip. Tiba-tiba saja ia merasa insecure dengan penampilan ala kadarnya ini. Perempuan di foto itu jelas jauh lebih jelita dibandingkan Ily.

Helaan napas kecil melintas. Gadis itu menyapu sekilas bedak ke wajah, memoles kembali bibir dengan lipgloss. Setidaknya begini lebih baik, samar-samar warna merah jambu kembali melekat pada bibir tipis Ily.

Tangannya membetulkan sekali lagi kunciran rambut, kemudian melangkah keluar dari bilik kamar mandi pekerja.Saat dia hendak mencangklong tas, sebuah getaran dari gawai mengurungkan niatnya.
Ada pesan dari Gravi.

🖤💖
Aku udh sampe cafe, di meja pojok sbelah barat

Mencengkram kuat ponselnya, Ily mulai berjalan melewati ruang loker. Hingga sanpai di dapur, Ily berhenti mematung sejenak. Itu dia, lelaki dengan hoodie maroon duduk di pojok bersama seorang perempuan dengan baju maroon juga. Serasi sekali, sungguh kebetulan yang menyebalkan bagi Ily.

"Woi, Ly ... lo udah mau pulang?"

"Heem."

"Eh, lo liat gak tuh, di meja pojok yang pake baju garis-garis." Nada mengacungkan tangan berusaha menunjuk arah yang ia maksud pada Ily.

"Iya, kenapa?"

"Itu cogan yang pas itu nyariin lo. Kira-kira ngapain, ya, dia duduk berdua ama Bianca."

"Hah, Bianca?" Pekikkan lirih Ily dibalas anggukan oleh Nada. Jadi ... yang selama ini menjadi saingan Ily adalah Bianca-boss Ily sendiri.

"Yaudah Ly, gue ke dalem dulu. Hati-hati di jalan."

Saat Ily sampai di meja pojok, kedua anak manusia itu sedang tersenyum lebar. Berbincang asik dengan penuh keakraban. Rasanya seperti ada puluhan karung beras yang menghantam dadanya, nyeri sekali. Belum apa-apa saja, matanya mulai bersiap mengeluarkan cairan. Ily benci dirinya yang terlalu cengeng.

"Akhirnya, Ly, kamu dateng juga."

Disaat yang bersamaan, Bianca memutar kepala dan menyapa Ily dengan sebuah senyuman. Ily membalas tersenyum kecil.

Gravi menarik kursi di sisi lain meja, lalu Ily duduk di sana. Suasana mendadak hening. Lebih baik begini, Ily tak perlu susah-susah memutar otak untuk memilah kata yang halus. Sulit sekali berbasa-basi memasang wajah ramah pada orang yang menjadi akar dari segala masalahnya dengan Gravi.

"Ly, ini Bianca temen kampus aku. Kita satu jurusan."

Wajah dengan polesan bedak tipisnya mau tak mau menoleh pada Bianca. Dengan terpaksa, kedua ujung bibir Ily melengkung ke atas. Lihat, kacamata berframe hitam dan lebar itu bahkan tak mampu melenyapkan kecantikan wajahnya.

"Hai, Ily. Aku gak nyangka kamu pacarnya Gravi."

Ily tersenyum kecut. Sepertinya Bianca mau bilang kalau Ily tak pantas dengan Gravi. Hanya itu yang bisa Ily tangkap dari kalimat Bianca.

"Maaf karena aku membuat kalian berdua bertengkar, tapi sungguh, aku gak ada hubungan apa-apa sama Gravi. Dan foto itu gak seperti keliatannya."

Semakin Bianca bilang begitu, semakin Ily merasa benar-benar tersaingi. Gak ada hubungan apa-apa aja asiknya kaya gitu kalo lagi ngobrol. Sampai-sampai Gravi banyak tersenyum didekat Bianca. Ily geram, dadanya semakin penuh, dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu.

GravihatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang