Bab 5. PHO

1.8K 138 11
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Sepasang kekasih juga perlu menghargai privasi masing-masing.

~~•~~

Ily memutar pandangan ke arah lain. Selalu saja, ketika ia pulang kerja. Gravi pasti muncul di halte. Pada akhirnya, mereka akan pulang bersama. Jika dibilang kebetulan, sepertinya bukan. Kejadian ini selalu berulang sejak lima hari berturut-turut. Muak sekali rasanya.

"Kamu pucet, sakit?"

Masih menatap lurus pada kendaraan yang lewat, Ily menggeleng pelan. Dilipatnya tangan di dada. Berharap bisa menghangatkan tubuh yang mulai menggigil.

"Nih, pegang." Gravi menyodorkan gelas sterofom. Terasa hangat ketika permukaannya menyentuh punggung tangan Ily. Apa isi gelas itu?

"Ambil teh manisnya, Ly. Baru aku beli tadi. Udah kesedot dikit, sih, tapi udah aku balik kok sedotannya."

Ily mengambil alih gelas tersebut, memegang dengan kedua tangannya. Ah, lebih mendingan. Baru saja hendak memuji dalam hati. Namun, di menit itu, Gravi dengan kasar menyahut kembali gelas yang baru saja dia berikan. Ily tak sempat memaki, dirinya benar-benar sudah tak memiliki energi berlebih. Dalam hati rasanya cenat-cenut sekali, Gravi akhir-akhir ini jadi pemicu naiknya emosi Ily.

"Nih, pake dulu."

Di depan wajah Ily pas. Sebuah lengan berbalut kemeja hitam menyodorkan hoodie putih yang tadi dipakainya. Siapa lagi, sudah tentu Gravi.

"Mau aku pakein?"

Menepis tangan Gravi, Ily langsung tancap gas. "Gak perlu."

"Udah ... nih, pake!"

Gravi menjejalkan kain tebal itu pada wajah Ily. Astaga! Mau tau bagaimana rasanya. Kaget bercampur kesal. Mau tak mau gadis itu menerima hoodienya walau dengan gerutuan sebal.

Ily sabar, kamu bukan milea yang punya pacar semanis Iqbal.

Gravi memberikan gelas yang tadi, Ily menerima saja. Ya Tuhan, kemana perginya bus-bus itu. Kenapa mendadak sepuluh menit jadi terasa lama sekali.

"Cepet diminum, mumpung masih anget."

Celetukan Gravi lantas disusul oleh gerakan tangannya yang memasang tudung hoodie pada kepala Ily. Gravi tersenyum sekilas.

"Kayanya kamu demam, jangan lupa minum obat dan istirahat."

Gravi maju dua langkah, melambaikan tangan di pinggir jalan. Tak lama sebuah bus berhenti. Pergelangan tangan Ily ditarik dengan tidak santainya lalu lelaki itu menjejalkan tubuh Ily masuk melewati pintu bus. Dari pinggir trotoar sana, Gravi hanya melambaikan tangan.

Jadi, dia tidak ikut pulang, batin Ily seraya melangkah mencari kursi kosong. Tangan kanannya meremas ujung hoodie putih yang dipakai. Ily tak akan pernah melupakan moment manis ini. Bukan tak mau, tapi tak akan pernah bisa.

Ponsel di dalam tas Ily bergetar, sepertinya ada telepon masuk. Ily mengeluarkan gawainya dari dalam tas. Benar, satu panggilan tak terjawab dan satu pesan dari Gravi.

GravihatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang