Ily mengumpulkan rambut menjadi satu, kemudian mengikatnya. Jari-jari lentik milik gadis bersurai panjang itu meraba, merapihkan seragam kerja yang melekat di tubuhnya. Kini, setelah tiga minggu berlalu. Serangan lemas dan lelah itu mulai terbiasa Ily rasakan. Dia mencoba untuk tidak berpikir yang bahkan belum terjadi.
Mulai hari ini, Ily bertekad akan kembali menjadi dirinya yang selalu tersenyum. Tak ada alasan lagi yang bisa membuatnya berlarut dalam kesedihan. Toh, apa yang selama ini ditakutkan tak pernah terjadi, dia masih baik-baik saja sampai saat ini.
Ily menganyunkan kaki ke dapur. Meja saji kosong, tak ada pesanan yang bisa di antar. Maniknya menyapu ke seluruh penjuru meja pengunjung. Tak ada customer yang belum dilayani. Sepertinya semua sudah teratasi.
Bagaimana Ily bisa tahu. Mudah saja, nomor meja yang menghadap searah dengan pintu cafe pertanda kalau meja itu belum di kunjungi oleh pramusaji. Tugas pramusaji di sini, selain mencatat pesanan juga harus bisa memastikan nomor meja sudah di balik arahnya. Sehingga nomor meja bisa terlihat dari dapur.
"Ly, cowok yang di pojokan itu siapa, sih? Pacar lo, ya? Perasaan sering banget kesini," ujar Nada saat dia tiba di dapur.
Ily kontan menoleh pada ke arah manik Nada tertuju. Halim, sepertinya memang Halim yang ada di sana. "Bukan, itu kakak kelas SMA gue. Cuma temen aja."
"Masa sih, semenjak lo kerja di sini. Dia jadi pelanggan yang rutin datang ke sini. Buat apa coba kalo nggak demi deketin, Lo."
Ily menerawang jauh ingatan-ingatannya. Nada orang kedua yang mengatakan itu setelah Gravi. Mengapa begitu, padahal Ily tak merasakan apa yang mereka ucapkan. Perhatian Halim juga masih wajar jika disebut sebatas teman.
"Gue rasa, itu cowok naksir sama lo."
Ily langsung memijat kening. kalimat asal-asalan Nada, entah kenapa malah memantik denyutan-denyutan di dahi. Ily tak ingin dirinya jadi bersikap Canggung karena hal ini. Hembusan napas panjang Ily menarik perhatian Nada.
"Kenapa?"
"Eeengh ... bentar-bentar gue kebelet pipis."
Ily berlari meninggalkan dapur kalau masuk ke pintu lain. Dari banyak kegiatan yang dilakukan, yang sangat mengganggu dan menguras tenaganya tak lain adalah karena kebiasaan sering buang air kecilnya ini.
Sekembalinya Ily dari toilet, Nada sudah tidak ada di tempat. Dan sepertinya, pengunjung sudah mulai berdatangan. Begitu juga dengan pesanan yang sudah siap untuk disajikan.
Ily mendekat pada meja saji mengambil satu nampan berisi pancake vanilla juga milkshake vanilla. Mengantar nampan itu kemeja nomor 24. Aroma manis vanilla yang lembut menusuk, melekat ke rongga hidung. Rasanya sangat menggugah selera. Koki baru yang Rendi cari bahkan lebih berbakat daripada Anjani.
Di tengah-tengah langkah membawa nampan, tiba-tiba saja perut Ily mendadak terasa kembung, bergejolak, seperti ada sesuatu yang ingin naik ke permukaan. Dia menahan mati-matian rasa mual itu.
Setelah berhasil mengantarkan sajian ke meja pelanggan. Ily mengatupkan bibir, kedua tangannya menutup rapat mulut. Lantas berlari, melewati meja-meja juga dapur. Tak peduli dengan pertanyaan dari Nada ataupun pengunjung yang bisa saja melihat aksinya. Yang terpenting sekarang adalah dia tidak mengeluarkan muntahannya di sana.
"Hoek, hoek ...."
Memuntahkan keluar semuanya di kloset. Tak ada apa pun kecuali cairan bening. Ily membasuh mulutnya, berkumur menghilangkan rasa pahit di mulut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gravihati
RomanceCowo baik tapi sialan. Pernah nemu jenis cowo kaya gini? Berarti kamu satu nasib sama Ily. Ily ini 18 tahun, baru lulus SMA, gagal kuliah, padahal udah lolos SBM tinggal go kampus aja. Sayangnya, tiba-tiba Gravi datang ingin bertanggung jawab atas k...