Bab 30. Berubah

1.5K 104 2
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Ily menggoreskan pensil pada kertas. Menghitung ini dan itu, mencari jawaban dari soal. Sekarang dia tengah duduk manis di atas sofa, tentu saja bersama Gravi. Lelaki itu duduk di karpet, laptop ia letakkan di atas meja lipat kecil. Gravi juga sedang mengerjakan tugas.

"Ly."

"Hmm"

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu."

Gerakan tangan Ily berhenti seketika mendengar ucapan Gravi. Aneh, dia tak pernah begini jika memang tak begitu penting. Ada masalah apa memangnya.

"Ngomong aja, Gra. Aku dengerin."

Terdengar hembusan lelah dari Gravi sebelum akhirnya dia ngakat bicara, "Aku udah mulai kehabisan uang. Karena semenjak kita nikah, orang tua itu udah gak lagi ngirimin uang bulanan."

Ily sontak menoleh pada Gravi. Fokusnya mengerjakan soal terpencar begitu saja. Jadi, Gravi tak lagi diberi uang oleh ayahnya. Menutup buku dan meletakkannya di sembarang tempat. Gadis itu ikut duduk di samping Gravi.

"Kenapa kamu gak cerita ke aku dari kemarin-kemarin?"

"Emang, kalo aku ceritaim kamu bisa apa?" Gravi bertanya pelan.

Benar, Ily bisa apa jika Gravi menceritakan hal itu. Kepala Ily tiba-tiba terasa nyut-nyutan. Bagaimana cara Gravi memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Lelaki itu juga butuh biaya untuk kuliahnya.

"Nanti malah jadi beban pikiran kamu," celetuk Gravi lagi.

Lelaki itu menoleh, menoel pipi Ily. Kemudian berkata, "Tuh, kan. Udah bengong aja."

"Seenggaknya aku gak akan banyak nuntut ini dan itu ke kamu. Kaya kemarin itu," kalimat Ily semakin melirih. Kepalanya menunduk lagi. Ily kemarin terlalu banyak maunya. Kipas, kulkas, makanan ini itu.

Gravi mengubah posisi duduk menghadap ke arah Ily. Gadis tersebut sontak menoleh saat Gravi memegang dagu, mengangkatnya sedikit.

Dia menggeleng, "Kamu enggak banyak menuntut sama sekali. Kamu masih jadi Ilynya Gravi yang sederhana."

Sementara Ily terdiam, tangan Gravi meraba sofa, mengambil satu bantal dari sana. Ditariknya bahu Ily sedikit ke depan. Bantal itu kemudian diselipkan Gravi di antara punggung Ily dengan sofa.

"Senderin bantalnya," titah Gravi. Ily menurut, melakukan apa yang laki-laki itu minta. Terasa lebih rileks memang jika posisi duduknya seperti sekarang.

"Ibu hamil trimester kedua, gak boleh duduk membungkuk ke depan," ucap Gravi mengingatkan. Ah iya, Ily ingat sekali. Kata dokter Balqis kemarin memang begitu.

"Kamu juga gak boleh sedih apalagi banyak pikiran. Inget, di kehamilan 20 minggu, tekanan darah rawan naik."

"Jadi jangan banyak pikiran. Aku gak mau kamu kenapa-napa," tegas Gravi lagi. Suaminya kembali pada posisi semula.

"Aku cerita seperti ini, bukan buat menambah beban pikiran kamu." Lagi-lagi yang angkat bicara hanya Gravi.

"Aku mungkin bakal jual alat-alat fitness aku. Jual laptop sama hp aku, buat diganti jadi brand yang lebih murah. Terus aku bisa jual jam tangan aku. Semoga aja sih, laku."

Ily sama sekali tak kuat meski hanya untuk sekadar berkomentar. Sudah tak bisa fokus menanggapi. Kepalanya tiba-tiba terasa agak sakit.

"Aku mau kasih tau kamu, kalau aku bakalan cari kerja. Kemungkinan kerjanya bakalan malem. Jadi, kamu gak masalahkan?"

"Iya, gapapa,"

Apa pun pertanyaannya. Tak ada jawaban lain selain, iya. Bukankah begitu. Gravi tak perlu izin dari Ily untuk melakukan apa saja.

GravihatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang