Ily mengerjapkan mata ketika ponselnya berdering kencang. Jam berapa sekarang. Membuka kelopaknya pelan, Ily terkejut melihat sorot cahaya dari luar jendela kamar. Ternyata sudah pagi, berarti dia bangun kesiangan.
Ah, semalam Ily ketiduran setelah begadang sampai jam sebelas demi menunggu Gravi pulang. Menoleh ke kanan, rupanya kosong. Gravi sudah bangun, tapi kenapa dia tak membangunkan Ily. Atau jangan-jangan, Gravi tidak pulang semalaman.
♬♪Coba tanya hatimu sekali lagi
♬♪Sebelum engkau benar-benar pergiIly bangkit dari tidurannya. Siapa sih, yang menelpon sepagi ini. Dengan malas tangannya meraih ponsel di meja nakas.
Kak Halim is calling ...
Ada apa orang ini sampai menelponnya nerulang kali. Awas saja kalau tidak penting. Menggeser ikon hijau ke atas, detik itu juga rentetan kalimat menyerbu telinga Ily.
"Bangun Ly, udah terang. Tidur mulu. Gue di depan pintu apartment Gravi dari tadi. Lumutan, nih. Beneran baru bangun tidur, ya?"
Ily memijat keningnya. Rasa sakit di kepala bagian belakang datang lagi, kali ini beserta badannya yang ikut melemas. Ada apa dengan dirinya.
Di sebrang telepon, Halim menggerutu lagi. "Ly, cepet bukain pintunya. Parah banget, masa dari tadi gue diri mulu di depan sini."
Ah, iya dia masih di depan. "Kenapa ke sini, Kak? Ada apa?"
Ily bertanya seraya melangkah turun dari tempat tidur. Berdiri di depan cermin, ia merapikan baju juga rambutnya. Sosok yang terpantul di depan cermin saat ini. Sangat berbeda, terasa asing.
"Ly, jangan jadiin abang kacang di sini."
Ily tekikik kecil, mulai, alaynya Halim keluar. "Iya-iya sabar, otewe buka pintu."
Menghiraukan keluhan lemas dan sakit di kepalanya. Ily mengayunkan kaki ke luar kamar, mempercepat langkah. Halim masih saja menggerutu. Sudahlah, Ily matikan saja sambungan teleponnya. Detik itu juga, Ily menarik gagang pintu.
"Awas durhaka ama abang, main matiin telpon gitu aja," semburan kalimat Halim hanya Ily respon dengan sebuah senyuman.
Pantas jika sejak tadi menggerutu terus. Bawaan Gravi lumayan banyak. Tas ransel di pundak, lima papan kanvas, sebuah easel¹ dan sebuah paper bag. Gravi benar-benar serius dengan ucapannya untuk mengajari Ily hari itu. Eh, tapi ini hari jumat.
"Cantik-cantik tapi kalo tukang bengong, ya, sama aja jadi kaya kambing ompong."
Ily mendelik. Gravi bilang apa tadi, kambing ompong. Sontak saja tawa Ily terpancing keluar.
"Dih, ketawa," sinis Halim, "Kebiasaan deh, gue gak disuruh masuk, nih."
Membuka lebar pintu, Ily menyilahkan saudara tiri suaminya masuk. Perempuan itu permisi ke belakang untuk membuatkan minuman untuk Halim. Tidak sampai lima menit ia kembali lagi ke ruang tamu dengan secangkir kopi.
"Kak Halim ada apa ke sini pagi-pagi. Hari jumat juga, bukannya kuliah?"
Menyeruput sedikit isinya Gravi lantas menjawab, "Dosennya gak bisa dateng ngajar, yaudah sekalian aja gak masuk. Abis jumatan baru ada kelas. Jadi rada santailah."
Ily mengangguk paham
"Tujuan utama ke sini, mau ngasih titipan dari mama." Halim meletakkan sebuah amplop coklat, persis seperti tempo hari.
"Berhubung gue minggu gak bisa ke sini, jadi sekarang aja deh. Sesuai janji gue waktu itu," Halim membuka resleting tasnya.
"Gue udah bawain, easel, kanvas, kuas, palet, cat poster lengkap dengan pengencernya yang bebas bau. Jadi lo gak perlu khawatir bakal muntah-muntah karena baunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravihati
RomanceCowo baik tapi sialan. Pernah nemu jenis cowo kaya gini? Berarti kamu satu nasib sama Ily. Ily ini 18 tahun, baru lulus SMA, gagal kuliah, padahal udah lolos SBM tinggal go kampus aja. Sayangnya, tiba-tiba Gravi datang ingin bertanggung jawab atas k...