Bab 24. Rahasia Milik Gravi

2.1K 117 1
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Ily dan Nura bercengkrama dengan akrab di sepanjang perjalanan menuju ke apartment. Sedangkan di belakang mereka, dua orang laki-laki berjalan mengekori, saling diam. Ily mengangguk sekali, mengiyakan wejangan ibu mertuanya.

“Jaga diri ya, ingat pesan dokter.” Di depan apartment, Nura memeluk Ily untuk pertama kalinya.

“Iya, Ma,” ucap Ily pelan, ia masih berada di pelukan Nura.

“Mama udah gak sabar pengen liat cucu mama.” Nura melepas pelukan, memegang kedua lengan atas Ily.

“Nanti, kalo pas periksa kehamilan lagi, mama yang anterin, ya.”

Ily mengangguk, “Pasti, Ma.”

Tiba-tiba Gravi menarik Ily, melepas pegangan tangan Nura. “Gak usah sok perhatian.”

Ily menghempas tangan lelaki itu. “Gra, kamu apa-apaan, sih?”

“Diem, Ly!” bentak Gravi.

“Inget ini, saya sama istri saya bisa berangkat chek up sendiri. Dan lagi, jangan memaksa Ily untuk tinggal di neraka megah punya su—”

“Eh, Gra. Jaga ucapan lo, sebelum lo nyesel nanti.” Halim memotong ucapan Gravi, menunjuk wajah bermata sipit itu dengan satu tangannya.

Lelaki itu mendecih, tersenyum miring. Menghiraukan Halim, Gravi kembali bicara, “Anda ingin membuat istri saya merasakan neraka jugakan. Anda ingin merusak kebahagiaan saya dengan itu, benar?”

Kurang ajar lo, Bangsat!”

Bugh

Dengan tanpa aba-aba, Halim menerjang Gravi. Menghadiahi saudara tirinya bogeman berulang kali. Ily yang ketakutan hanya bisa melangkah mundur, menutup mulut dengan wajah terkejut.

Maniknya melebar melihat adegan demi adegan saling pukul antara Gravi dan Halim. Menarik kerah, memukul perut, meninju rahang, menyerang hidung Gravi sampai mimisan. Kaki Ily gemetar, ia jatuh terduduk menyaksikan semuanya.

“Jaga omongan lo ya, dia orang tua!”

“Peduli setan,” rutuk Gravi membubuhi bogemannya di pipi Halim.

Di sana Nura berusaha memisahkan kedua putranya yang masih bergulat. Wanita itu menangis, meneriaki nama kedua anaknya untuk berhenti. Sampai ada seorang pria bersetelan kantor yang keluar dari lift, barulah perkelahian mulai mereda.

“Udah Mas, ibunya Mas udah nangis. Tolong didengarkan.”

Halim melepas cekalan tangan pria itu. Nura mendekat pada sang putra. “Udah Lim, ayo pulang.”

Sementara sososk Nura dan Halim hilang memasuki ruangan kecil kotak besi itu. Ily masih terduduk melihat Gravi yang bercucuran darah di wajah dan hoodie-nya. Lelaki itu tersenyum, mengangguk, mengatakan seolah tak apa-apa.

“Mbaknya bisa bangun?” Lelaki bersetelan kantor tadi berjongkok di dekat Ily.

Ily jelas menggeleng kecil sebagai jawabannya. Entah kenapa, kaki Ily masih saja terasa lemas. Ia tidak sanggup meski hanya sekadar menopang tubuh.

Lelaki dewasa yang Ily taksir seumuran kakaknya itu menoleh pada Gravi. “Mas, saya izin papah istrinya ke dalam ya.”

“Silakan.”

Lelaki berkacamata di hadapan Ily tersenyum. “Ayo Mbak taruh tangannya di pundak saya,” ujarnya seraya menepuk-nepuk pundak.

Ily mengaitkan tangan kirinya sesuai instruksi. Lelaki itu memegang pinggang Ily. Memapahnya ke dekat pintu apartment. Gravi di sana berusaha bangkit, menekan kombinasi tombol password.

GravihatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang