Bab 19. Istana Keluarga Gravi

2.2K 130 1
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍“Cinta ... hanya soal rasa, bukan tentang harta apalagi status sosial 'kan?”

~~•~~

‍‍Tok tok tok ....

“Ily, pake bajunya udah belum? Kenapa lama banget.”

Gadis pemilik nama menoleh ke arah pintu. Memandang lagi untuk yang ke sekian kali penampilannya di depan cermin. Celana levis panjang dengan kaos putih berlengan pendek. Masa iya, dirinya pakai baju seperti ini. Pintu di ketuk lagi, kali ini Ily memutuskan untuk membukanya.

Di ambang pintu, Gravi dengan rambut basah dan tetesan air di wajah tersenyum  manis. Mata Ily terpaku pada bahunya yang lebar, lalu langsung terpejam. Gravi dengan balutan handuk di pinggang, bukanlah hal yang baik untuk di pandang.

“Sadar!” Gravi terkekeh lalu menarik tubuh Ily keluar dari kamar.

“Aku mau pake baju dulu, dingin, nih.”

Pintu ditutup, melihat sekilas ke arah belakang, Ily putuskan untuk duduk di sofa ruang tengah. Dari pantulan kaca jendela, Ily melihat dirinya. Dengan wajah muram. Tentu saja, tak ada alasan bagi dia untuk tersenyum bahagia.

Dada Ily bertalu kencang. Sampai di tempat saja belum, takutnya sudah setengah mati. Ily tak bisa bayangkan bagaimana Gravi menaklukkan ketakutannya dan bisa seberani itu datang sendiri ke rumah Ily. Mengakui semua di depan orang yang bahkan belum pernah ia temui. Gravi, Ily akui dia memang pemberani.

Apa yang akan terjadi nanti, batin Ily.

Kedua telapak berjari lentik Ily mengepal. Semoga saja semua berjalan lancar. Memejamkan mata, menarik dan menghembuskan napas perlahan. Ia berusaha untuk tetap tenang. Dirinya sudah lelah, sangat lelah karena seharian ini terus menangis.
‍‍‍‍‍‍‍‍
Ketika membuka mata, Gravi sudah duduk bersila di karpet. “Kenapa?” tanya dia seraya memiringkan kepala ke kiri.

Ily balas tersenyum disusul gelangan kepala. Hari ini, meski masih saja merasa sedih. Ily merasa lebih baik karena ada Gravi seharian di sisinya.

“Kok diem aja. Kalo gitu, ayo berangkat.”

Ily berdiri, menahan tangan Gravi. Kepalanya menggeleng lagi. “Jangan dulu, aku belum siap.” Gravi berbalik badan. ”Liat deh baju aku,” kata Ily lagi.

Dahi lelaki itu mengernyit. “Emang kenapa? Gak ada yang salah. Pas kok bajunya.”

“Ya, masa baju aku kaya gini, sih.”

“Terus mau pake baju yang kaya gimana? Toh kan cuma ke rumah orang tua aku aja. Kenapa mesti pusing-pusing.”

Ily memanyunkan bibir. Gravi tidak akan mengerti betapa pentingnya penampilan bagi seorang perempuan. “Aku gak mau pake baju lengan pendek kaya gini. Mau pake yang panjang, tapi baju di tas aku pendek semua.”

Tersenyum simpul, Gravi menarik Ily masuk ke kamar. Lelaki itu membuka lemari, memilah-milah sesuatu. Menarik keluar hoodie warna biru pucat, disodorkan kain itu pada Ily.

“Warna ini cocok kalo kamu pake. Kegedaan sih, tapi namanya juga hoodie.

Ily masih diam memandang kain itu. Apa tidak masalah. Kalau orang tua Gravi hapal dengan baju anaknya. Apa kata orang tua Gravi, jika melihat Ily memakai baju anaknya. Nanti Ily dilabeli yang jelek-jelek lagi. Ah, dia memang berlabel jelek sekarang.

“Ini masih baru, belinya pas subuh tadi. Sengaja aku beli warna ini buat kamu.” Ily tersenyum, menerimanya.

“Coba pake,” ujar Gravi lagi.

GravihatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang