"Aku?"
Ily tersenyum miring, memalingkan wajah. Gravi bertanya dengan nada seolah-olah tidak bersalah. Apa semua lelaki seperti Gravi, sangat sulit untuk mengakui kesalahannya. Atau cuma Gravi yang begitu.
"Berkat tindakan gegabah kamu tadi. Aku akhirnya diusir dari rumah. Kamu udah merusak semua rencana aku untuk menggugurkan kandungan." Ily berhenti sejenak, menarik napas yang sedikit tercekat karena sesak.
"Semua yang terjadi malam ini, emang gara-gara kamu!" teriak Ily lagi.
Satu tangannya memukul kuat bahu kiri lelaki itu. Ily mundur, berdiri dengan kepala menunduk. Mengusap berkali-kali ujung matanya yang basah.
Gravi teekejut, ia meraih bahu Ily berusaha untuk mengangkat wajah gadis itu. Ily berpaling, mendorong dada Gravi menjauh, dan menghempaskan tangannya. Tidakkah Gravi mengerti, kalau dirinya sedang tidak ingin disentuh saat ini.
"Aku gak akan membiarkan kamu melakukan aborsi. Cepat atau lambat, kehamilan itu bakalan terungkap. Dan keputusan aku untuk bertanggung jawab udah tepat."
Ruangan hening. Ily juga terdiam, masih menundukkan wajah. Gravi menghembuskan napas beratnya.
"Aku nggak akan mungkin tega, ninggalin kamu begitu aja, Ly."
Seperti ada ribuan jarum menusuk jantungnya, perih. Sekali lagi, isak tangis Ily datang, air matanya menetes lagi. Ily berjongkok menenggelamkan wajah di lipatan tangannya. Menangis lama.
Gravi ternyata masih memikirkan dirinya. Ia sendiri bingung pada perasaannya sekarang. Marah, sedih, kecewa, gelisah. Rasanya Ily hanya ingin menangis dan menangis saja. Ketakutan yang teramat besar ini, membuat Ily bersikap jahat dan malah melampiaskan semua emosinya ke lelaki ini.
"Kita bisa melewati semuanya bersama-sama, Ily. Kamu gak sendiri, masih ada aku di sini."
Gravi ikut berjongkok di depan Ily. Satu tangannya menyusul memegang bahu gadis itu. Gravi melempar senyum bersama dengan tatapan khasnya. "Jangan sedih. Biar aku yang mikirin semua. Kamu gak usah ikut mikir."
"Kemari," Gravi menarik Ily untuk berdiri, kemudia ia beranjak lebih dulu. Ily mengekori langkah Gravi masuk ke ruang tengah. Mengiyakan ajakan lelaki itu untuk duduk di karpet depan televisi.
"Udah makan apa belum?" Ily cuma mengangguk menjawabnya.
Gravi bangkit dari duduk. Sedangkan Ily, memandang ke arah jendela yang tirainya terbuka. Langit hitam dengan gemerlap lampu kendaraan juga gedung-gedung. Sangat indah.
Kemarahan orang tuanya, diusir dari rumah lalu batal kuliah. Hal-hal itu sudah cukup membuat Ily tertekan. Menyesal? sangat. Ily kehilangan tiga hal sekaligus di waktu bersamaan.
"Nih."
Gravi datang menyodorkan segelas mug pada Ily. Asap tipis mengepul di atasnya. Saat diintip, ternyata teh.
"Diminum, dong."
Ily menurut aja. Mengambil alih mug biru itu. Menyentuh bibir gelas, meniup pelan, lalu menyeruput isinya. Tidak terlalu manis, tapi tehnya tidak pahit.
"Jangan stress terus, gak baik buat janinnya. Udah gak ada yang perlu kamu sembunyiin dari orang-orang, jadi gak boleh gelisah lagi."
Ily terdiam, dia meletakkan benda keramik tersebut lantas berkata, "Orang tua aku gimana. Gak mungkin aku ninggalin rumah mereka begitu aja. Aku pengen pulang besok."
Lelaki di depan Ily mengangguk pelan. "Aku ngerti. Kamu bakal pulang ke rumah, diantar orang tua aku juga."
Ily mengernyitkan dahi tak mengerti. Bagaimana caranya. Bukankah Gravi tak akur denga orang tuanya. Apa yang akan dia katakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/232665389-288-k598748.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravihati
RomanceCowo baik tapi sialan. Pernah nemu jenis cowo kaya gini? Berarti kamu satu nasib sama Ily. Ily ini 18 tahun, baru lulus SMA, gagal kuliah, padahal udah lolos SBM tinggal go kampus aja. Sayangnya, tiba-tiba Gravi datang ingin bertanggung jawab atas k...