Ily memekik, menghampiri Gravi. Ia melupakan ponselnya, membiarkan benda itu tergeletak di kasur begitu saja. Ait mata mengalir di pipi, dia terduduk meraba wajah Gravi yang penuh lebam dan darah. Tubuh lelakinya terkulai layu di lantai. Ada apa lagi dengan dia. Apa dia berkelahi dengan Halim lagi."Ini kenapa begini, sih? Pukul-pukalan sama Halim lagi?" Ily terisak tangannya turun meraba hoodie yang terkena darah.
"Gapapa, Ly," lelaki itu meringis kecil, "kamu gak usah nangis. Aku pulang cuma mau ganti baju aja, habis i-"
"Iya, sebentar. Aku ambilin kompresan sama obat buat luka kamu."
Menghapus air matanya, Ily melangkah keluar kamar. Tinggal bersama dengan Halim mengajarkan Ily banyak hal. Temasuk untuk tetap bergerak hidup meski masih ingin menangis. Berbeda ketika dulu di rumah. Saat sedih, Ily hanya akan menangis dan menangis di dalam kamar.
"Kamu senderan di tembok, Gra."
Lelaki itu menggeser duduk sesuai dengan yang Ily instruksikan. Jika Ily tidak salah, ini adalah yang ke empat kalinya selama empat bulan ia tinggal betsama suaminya. Ily membersihkan wajah penuh darah dan lebam Gravi.
Memeras handuk kecil di tangan, Ily kemudian menempelkannya pada sudut bibir lelaki itu. Darahnya masih agak basah, jadi mudah untuk dibersihkan. Pasti aksi jotos itu terjadi baru saja, tapi di mana dengan siapa. Ily tak tahu dan Gravi pasti tetap tak ingin memberi tahu.
"Makasih, Ly."
Gravi bangkit, melangkah menuju lemari. Dia mengambil sebuah hoodie dan satu setel baju kasual. Melangkah melewati Ily begitu saja lantas memasuki bilik kamar mandi.
Menghembuskan napas pelan, Ily memegangi perutnya menggunakan satu tangan. Berdiri perlahan, sedangkan tangan lainnya untuk menumpu pada tembok. Dengan susah payah ia mengambil baskom di lantai. Kemudian membawanya ke wastafel.
Kembali masuk ke kamar, Ily merebahkan diri di kasur lagi. Ponselnya tergeletak di sana. Ah, padahal tadi dia sedang mengobrol bersama kakaknya. Dan sejak tadi, Ily masih saja merasakan pusing pada kepalanya.
Gravi masuk ke kamar dengan balutan kaos lain dan hoodie merah maroon yang tadi diambilnya. Ah ya, Gravi pasti akan berangkat kerja meski keadaannya tadi sempat terkulai lemas dan babak belur begitu.
"Ly, aku berangkat kerja dulu." Dia sudah bersiap pergi dengan tas yang melekat di punggungnya.
"Tunggu dulu, Gra."
"Kenapa?"
Iya terdiam, haruskah ia mengeluhkan keadaannya sekarang pada Gravi. Atau lebih baik Ily diam saja dan menunggu pusing itu pergi sendiri.
"Ly ... ada apa?"
"Eh," gadis itu tersadar dari lamunannya. "Itu, kamu gak makan dulu?"
Gravi menggeleng, "Aku udah makan tadi jam tiga. Kamu yang jangan lupa makan malem. Tidurnya juga jangan terlalu larut."
Ily mengangguk, di ambang pintu sana Gravi tersenyum. "Aku berangkat dulu, Ly"
"Kamu hati-hati di jalan."
Kalau Gravi tidak mau mengatakannya. Tidak masalah, Ily bisa menanyakan itu pada Halim. Mematut sebentar ponselnya, ia kemudian mendekatkan benda itu ke telinga.
"Halo, Kak."
"Hu'um, Ly."
"Gravi baru keluar dari apartment. Dia pamit berangkat kerja."
"Issh ... oke-oke makasih, Ly."
Sekarang ini, Ily sedang melakukan apa yang menjadi imbalan seperti yang diminta Halim kemarin malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravihati
RomanceCowo baik tapi sialan. Pernah nemu jenis cowo kaya gini? Berarti kamu satu nasib sama Ily. Ily ini 18 tahun, baru lulus SMA, gagal kuliah, padahal udah lolos SBM tinggal go kampus aja. Sayangnya, tiba-tiba Gravi datang ingin bertanggung jawab atas k...