“Di mata pembenci, hal yang baik sekali pun akan tetap bernilai buruk.”
~~•~~
“Bumil makin hari makin cantik aja.”
Celetukan Halim yang menyambut kedatangan Ily cukup membuat perempuan itu tersenyum geli. Tiada hari tanpa melontar gombalan. Itu salah satu ciri khas Halim.
Setelah duduk nyaman di kursi, Ily melirik gelas yang ada di hadapannya. Halim memesankan susu. Menatap lelaki di depannya lantas Ily angkat bicara.
“Ngapain buang-buang uang buat beliin susu. Di rumah aku udah minun susu.”
Halim tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya. Ily tadi melempar kalimat sarkatis ya, bukan melawak atau melontar kalimat manis. Bisa-bisanya Halim melengkungkan bibir selebar itu.
“Lo tuh masih aja perhitungan ama duit. Padahal suami lo udah tajir juga. Ngirit banget.”
Mereka berdua memang beda. Sejak kecil Ily terbiasa diajari ibunya untuk menghemat uang. Membeli barang dan bahkan makanan yang memang benar-benar diperlukan. Lagipula, kalau Gravi tajir. Ily tak akan berada di cafe ini malam-malam begini.
“Papa Rajendra yang kaya, Gravi enggak punya apa-apa.”
Halim terkekeh. “Ya udahlah, malah jadi ngomongin itu. By the way, itu yogurt bukan susu biasa.”
Ily ber oh ria lalu meminumnya. Kebetulan semenjak hamil, Ily memang sedang suka makanan dan minuman yang bercita rasa asam. Terdiam sejenak, terbesit rasa ragu ingin mengatakan maksud dari janjiannya malam ini.
“Ly, kenapa diem. Mau ngomong apa sih? Ngomong aja, keburu malem nanti.”
“Itu ... aku lagi butuh uang, Kak. Kalo aku pinjem sama kakak boleh?”
Halim terdiam begitu pun Ily. Karena Halim terus saja menatap, Ily tak kuasa untuk mengangkat kepala. Dia menunduk dalam.
Mengapa Halim bereaksi seperti itu.
Kelihatannya Halim tidak bisa meminjamkan dirinya uang. “Kalo Kak Halim gak bisa, aku gak apa-apa ko—”
“Bisa. Apa sih yang enggak buat Ily.”
Halim tersenyum, menaikkan sebelah alisnya berkali-kali. Telapak kanan lelaki itu terulur membelai sekilas pipi Ily. “Jangan sedih atau bingung lagi. Gue seneng, lo bisa cerita masalah lo ke gue. Lain kali gak usah sungkan-sungkan.”
“Ibu hamil gak boleh stress, oke?” Mengacungkan ibu jarinya, Halim kembali bicara.
“Senyum dong.”
Dua sudut bibir Ily tertarik ke atas. Bagaimana Gravi tidak bisa menyadari kebaikan saudara tirinya sendiri. Apa yang Gravi bilang selalu berbanding terbalik dengan kenyataannya. Terutama tentang bagaimana ibu dan saudara tirinya.
“Mama sendiri emang udah gak bisa kirim apa-apa lagi dari rumah ke apart. Ayah tau dan ngelarang mama buat bantuin Gravi.”
Ternyata ayah mertuanya benar-benar tidak suka dengan pernikahan Gravi termasuk dirinya. Sepertinya memang begitu, bahkan sejak awal betemu, Rajendra selalu menatap Ily dengan sorot mata tajam.
“Tapi lo gak usah khawatir, ada gue. Kalo gue sanggup, gue pasti bantuin lo, Ly.”
“Butuh uang berapa?”
Ily sudah memikirkan ini berulang kali sejak tadi pagi. Ily rasa kalau sekadar untuk makan berdua selama sebulan. Keliatannya sudah lebih dari cukup. Ily akan berusaha memasak makanan yang bahan bakunya terjangkau.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gravihati
RomanceCowo baik tapi sialan. Pernah nemu jenis cowo kaya gini? Berarti kamu satu nasib sama Ily. Ily ini 18 tahun, baru lulus SMA, gagal kuliah, padahal udah lolos SBM tinggal go kampus aja. Sayangnya, tiba-tiba Gravi datang ingin bertanggung jawab atas k...