Ily melangkah pelan di pinggiran rumput. Menikmati sore yang begitu cerah, semilir angin membelai lembut wajahnya. Karena terlalu bosan berdiam di apartment, Ily putuskan untuk menghabiskan sore weekend-nya di keramaian taman kota.
Di sini memang sedang ramai, tapi tak sampai padat bahkan masih banyak rerumputan dan bangku kosong yang bisa Ily tempati. Ada anak-anak kecil yang berlarian ke sana-kemari. Segerombolan ibu-ibu, pasangan pemuda-pemudi juga ada di sini.
Satu bangku kosong di sudut taman tepat di bawah pohon mangga, menarik perhatian Ily. Disana teduh. Sepertinya Ily memilih untuk besantai di bangku itu.
Dari jarak sekitar dua puluh meter, di depan sana segerombolan ibu-ibu melihat ke arah Ily dengan pandangan yang tidak enak.
"Masih abege."
"Itu janin pasti gak ada bapaknya."
"Anak jaman sekarang moralnya rusak."
"Iya, cuma pacaran aja bisa jadi anak."
Seolah tak mendengar apa-apa, Ily terus melangkah maju, walau dengan pandangan sedikit menunduk. Melewati segerombolan ibu-ibu tadi adalah satu dari sekian hal yang Ily sesali saat ini.
Ia mendudukkan badan dengan perlahan di bangku. Air matanya merebak, meleleh melewati permukaan pipi. Meski sudah menerima bayi yang ada di dalam kandungannya, tetap saja rasanya sakit karena diolok seperti tadi.
Tangan Ily meraba perut buncitnya. Ada tendangan dari dalam. Tangis perempuan itu kian menjadi-jadi. Calon bayi di dalam perutnya ini tak bersalah, kenapa Ily selalu nerutuki kehamilannya. Sebuah tendangan halus di perut sekali lagi memancing seulas senyum di bibir Ily.
"Iya, Nak. Ibu gak nangis lagi."
Kepala Ily mendongak menatap langit biru. Telapak gadis itu menghapus air mata, di saat seperti ini, tak ada yang menghiburnya. Cuma makhluk bernyawa di perutnya ini lah yang menemani Ily selama sebulan terakhir.
Menghela napas pelan, tujuan awal dia ke sini adalah untuk membunuh bosan dan mengghibur diri. Bukan menangis begini. Mengeluarkan sesuatu dari saku, Ily menyematkan benda itu ke telinga.
Lagu berputar lembut seirama dengan hembusan angin. Di bangku taman itu, akhirnya ia bisa menikmati sore yang indah dan begitu menyenangkan.
Namun, sebuah sentuhan di tangan membuat Ily refleks membuka mata dan melepas earphone dari telinga. Seorang perempuan cantik, berambut panjang menyapanya dengan ramah. Ya, suara lembutnya baru saja menyebut nama Ily.
Siapa ya, Ily tak mengenal perempuan ini. Tubuh ramping itu duduk tepat di samping Ily.
"Gimana kabar lo?"
Dahi Ily mengernyit, sok kenal sekali. "Siapa ya?"
Perempuan tadi tertawa, memutus kontak mata, melihat sejenak ke arah lain."Gravi gak pernah cerita tentang masa lalunya ke lo?"
Ily terdiam, termenung memikirkan pertanyaan itu. Gravi tak banyak bercerita apa pun tentang dirinya, fakta-fakta tentang keluarganya saja Ily baru tahu akhir-akhir ini. Apalagi masalah siapa-siapa saja perempuan yang pernah dekat dengan dia. Sekali pun Gravi tak pernah menyinggung topik itu.
"Kayanya gak pernah, ya." Ily melihat ke arah gadis jelita itu lagi. Kira-kira siapa dia, mantan Gravi.
"Kenalin," tangan berjari lentik itu terulur pada Ily.
"Gue Talita, cewe yang sempet pernah dikejar-kejar sama suami lo itu pas jaman SMA, sebelum akhirnya lo pacaran sama Gravi."
Ah, jadi ini Talita yang pernah Gita ceritain itu, batin Ily.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gravihati
RomanceCowo baik tapi sialan. Pernah nemu jenis cowo kaya gini? Berarti kamu satu nasib sama Ily. Ily ini 18 tahun, baru lulus SMA, gagal kuliah, padahal udah lolos SBM tinggal go kampus aja. Sayangnya, tiba-tiba Gravi datang ingin bertanggung jawab atas k...