Benar. Semuanya hanya jadi angan-angan. Impian Audy untuk melanjutkan pendidikannya ke luar Negeri harus sirna dalam sekejap. Mimpinya, cita-citanya, masa depannya semuanya hancur hanya dalam waktu satu malam.
Bello dan Fifi kini mendekam di dalam penjara untuk beberapa tahun kedepan. Saat Arga mengatakan ingin menuntut hukuman mati untuk mereka, orang tua Fifi tiba-tiba datang, meminta maaf dan memohon untuk tidak membunuh anaknya. Arga tadinya enggan untuk menyetujui, tapi ayahnya malah memaksanya untuk menuruti permohonan orang tua Fifi dengan mengatakan, "Pendosa seperti mereka juga berhak hidup. Jangan ambil nyawanya secara paksa. Tuhan tau bagaimana caranya membalas luka seseorang."
Ikhlas tidak ikhlas, mau tidak mau Arga akhirnya memilih untuk membatalkan niatnya itu dengan syarat setelah mereka bebas mereka tidak akan melakukan kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya. Orang tua Fifi menyetujui dan mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada Arga dan keluarga.
Audy meneguk susu hangat yang baru saja Renata buatkan untuknya. Iya, sudah lama Audy tinggal di rumah orang tuanya. Sekitar dua bulan yang lalu, mungkin.
Selama dua bulan itu ia lebih suka menghabiskan waktu sendiri di dalam ruangan senyap dan gelap. Sinar matahari pun ia larang dengan keras untuk masuk ke dalam. Audy hancur apalagi saat kabar yang ia dengar dua bulan lalu ketika ia masuk ke dalam rumah sakit membuatnya bertambah hancur.
Minggu ketiga untuk Audy menghirup udara pagi setelah kejadian malam menjijikkan itu. Audy membuka matanya, menguap kecil dan semakin menarik selimutnya keatas menutup tubuhnya sampai dagu. Padahal matahari sudah muncul, tapi Audy malah malas-malasan di atas kasur.
Ceklek
Pintu terbuka menampakkan wajah tampan suaminya yang sudah rapi dengan kemeja kampusnya. Audy tersenyum tipis. Andai semua baik-baik saja, mungkin pagi ini mereka bisa berangkat ke kampus sama-sama. Menikmati masa muda lalu membuat cerita untuk mereka ceritakan ke anak cucu mereka nanti. Aish.
Arga berjalan mendekati Audy dengan membawa sepiring nasi untuk sarapan istrinya. "Sarapan dulu, ya." Arga memberikannya pada Audy.
Audy duduk, menerima piring yang Arga bawa. Memandangnya sebentar. Audy menggeleng lalu memberikan kembali piring itu pada Arga. Arga menautkan alisnya.
"Kenapa?"
"Aku nggak mau makan."
"Kamu sakit?"
"Enggak. Aku cuma lagi nggak nafsu aja."
"Tapi kamu harus makan, Dy. Satu suap, ya?" Arga hendak menyuapi Audy, tapi Audy menutup mulutnya rapat-rapat.
"Buka dong, Dy. Bentar lagi aku ke kampus loh," Audy menggeleng.
"Aku– huek." ucapan Audy terpotong saat ia merasa mual dan ingin muntah. Audy segera menutup mulutnya menggunakan telapak tangan.
"Audy?"
"Huek." perut Audy terasa mual. Ia segera turun dari ranjang, berlari masuk kedalam kamar mandi. Berdiri di hadapan wastafel.
"Hey, kamu kenapa?" Arga mendekat, memijat pelan leher belakang Audy untuk membantunya mengeluarkan semua isi perutnya, tapi tidak ada yang keluar dari sana membuat perut Audy terasa semakin mual.
"Kamu kayaknya sakit. Kita ke rumah sakit, ya?" ucap Arga masih terus memijat leher belakang Audy.
Audy membasuh mulutnya. "Enggak usah. Aku cuma nggak enak badan sedikit aja. Lagian juga kan kamu mau kuliah."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Enemy Is My Husband
Genç KurguSemua berawal dari pindahnya Audy dari Bandung ke Jakarta, ia juga terpaksa harus pindah sekolah. Disekolah ini ia harus bertemu lagi dengan musuh kecilnya yang menyebalkan. Sampai akhirnya sebuah pernikahan mereka alami karna perjodohan yang sudah...