CHAPTER 25 • SEMANGAT

6.2K 377 5
                                    

“Tuhan menciptakan tangis perempuan agar laki-laki melupakan tangisnya sendiri.” 

Sujiwo Tejo

•••••

Darren Morrano Smith Pov

"Mbok, nitip Aaron. Aku mau jemput Diana ke Jakarta. Sepertinya aku di sana beberapa hari. Ini kunci rumahku, mbok bisa nginep di sana. Jangan lupa hubungi aku, kasih kabar Aaron. Kalau ada apa-apa langsung telepon."

Beberapa saat lalu aku sudah menitipkan Aaron pada mbok Sum. Dia yang selama ini menjadi pengasuh Aaron saat aku bekerja. Untunglah ada mbok Sum, jadi aku tidak perlu bersusah payah mencari pengasuh untuk anakku.

Pikiranku tidak tenang. Aku harus segera menemui Diana. Aku bersalah karena membiarkan Diana berada di rumah itu. Jelas saja Diana tertekan, mereka saja jahatnya melebihi iblis.

Darren bodoh - umpatku

Aku bersumpah, kalau memang benar Diana berusaha bunuh diri karena keluarga Charlos, aku tidak akan membiarkan Diana menemui mereka lagi. Apapun yang terjadi aku akan membawa Diana bersamaku. Meskipun aku tidak bisa memberi materi melimpah seperti keluarga itu, tapi aku bisa memberinya cinta dan kasih sayang. Juga perlindungan yang tidak bisa diberikan mereka.

"Di mana ruangan pasien Diana?" tanyaku pada petugas receptionist. Keadaan sudah gelap saat aku tiba di rumah sakit.

"Ruang Wijaya Kusuma nomor 303." Tanpa mengucapkan terima kasih aku berlalu mencari ruangan yang disebutkan tadi.

"295, 397, 399, 301," aku bergumam membaca tulisan angka di setiap tulisan yang tertempel pada pintu ruangan.

"Aku nggak laper," teriak seseorang.

Prang

Piring itu terlempar ke lantai.

Kamar 303, kamar Diana. Tanpa permisi, aku membuka pintu yang tertutup itu.

"Kamu harus makan biar cepet sembuh," bujuk wanita paruh baya yang duduk di kursi samping tempat tidurnya. Di ruangan itu juga ada lelaki paruh baya yang duduk di sova.

Aku mendekat. Netraku melihat wanita Itu. Rambut halusnya terlihat berantakan. Di tangannya kanannya tertancap selang infus. Sedangkan tangan kirinya ada perban berwarna putih.

"Diana," ucapku lirih di samping Diana. Berhadapan dengan wanita yang menyuapi Diana.

"Kamu siapa?" tanya lelaki paruh baya itu dengan nada tajam.

"Kamu keluar!" usirnya.

Aku membelai rambutnya lembut. Air matanya keluar saat dia menyadari kehadiranku.

"Kalau kamu nggak keluar, saya panggilkan satpam." bentak lelaki paruh baya itu.

Aku tidak mengindahkan ucapannya. Biarkan saja dia mau berkata apa. Aku tidak ada urusan dengannya.

Diana beringsut duduk. Aku ikut duduk di sisi pinggir kasurnya. Tanpa dikomando, aku merengkuh Diana ke dalam pelukanku. Dia semakin menangis di pelukanku. Dadaku terasa basah oleh air matanya. Beberapa saat terhanyut dalam pelukan itu.

"Makan ya," ujarku. Aku teringat saat memasuki ruangan ini tadi. Diana saat itu menolak untuk makan.

Diana menggeleng, "Aku nggak laper," lirihnya.

"Bebek goreng mau? Atau seafood? Aku beliin," tawarku. Aku berusaha membujuk Diana. Biasanya dia suka meminta dibelikan makanan itu.

"Kata kamu nggak boleh makan makan yang tinggi lemak begitu," ucap Diana. Yaampun, di saat yang seperti ini dia masih mengingat laranganku.

Pregnant ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang