CHAPTER 11 • TANGIS KEHILANGAN

7.7K 426 2
                                    

"Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditandatangani di atas materai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk. Kata yang ada di Langit sana, kalau baik ya alhamdulillah, kalau buruk ya disyukuri saja."

Sapardi Djoko Damono

•••••

Darren Morrano Smith Pov

Malam panjang yang menguras emosi. Aku melanjutkan obrolan perihal masa lalu Diana sampai pukul dua belas malam. Dari situ banyak kutemui keganjalan keganjalan tentang kehidupan Diana.

Aku merasa Iba dengan dia. Dia tidak pernah merasakan bahagia. Hidupnya susah, padahal dia anak orang berada yang cukup disegani. Pamor keluarganya bahkan bisa menyaingi pejabat di negeri ini.

Aku juga bertukar pemikiran dengan tante meta tentang kesehatan mental Diana. Tante meta cukup terkejut saat ku menceritakan ketakutan ketakutan yang sering Diana alami. Awalnya tante Meta menolak menceritakan kondisi kejiwaan Diana kecil, tapi mungkin karena kasihan jadinya tante meta menceritakan semua.

Aku bersyukur memiliki mereka. Meskipun bukan keluargaku, tapi mereka sudah menganggapku bagian dari mereka. Mereka semua bahkan berjanji akan membantuku memecahkan masalah Diana.

Setelah memastikan mama papa Andre, dan juga andre pulang, aku bergegas ke kamar. Seperti saat meninggalkan tadi, aku membuka pintu kamar ini dengan sangat pelan. Gelap, memang aku mematikan lampunya, agar Diana lebih nyenyak tidur.

Aku berjalan menuju tempat tidur. Langkahku terhenti, telingaku menangkap suara seperti orang menangis. Aku mengedarkan pandanganku, mencari suara. Tapi karena gelap jadi aku tidak menemukan suara itu. Aku berjalan lebih cepat menuju tempat tidur. Aku mendapat Diana tidak ada di sana.

Lampu kamar langsung ku nyalakan. Diana, dia duduk di lantai pojokan kamar. Kedua kakinya dilipat dan dia memeluknya erat. Ia menyembunyikan wajahnya pada celah kedua kaki. Tubuhnya bergetar, dia menangis. Seringkali aku melihat dia menangis, tapi rasanya tangisan ini yang paling menyayat.

"Diana," panggilku. Aku mensejajarkan tubuhku sama dengannya. Tanganku refleks mengusap punggung wanita itu. Diana menengadah. Matanya merah, wajahnya yang pucat itu basah oleh air mata.

Kedua tanganku memegang mukanya. Kuusap air mata yang jatuh dan kurapikan rambut yang berantakan.

"Ada aku, jangan takut." Netraku bertemu dengan netranya. Aku membawanya ke dalam pelukanku.

"kamu mendengar percakapan kita tadi?" Diana mengangguk.

"Menangislah kalau itu membuatmu tenang, tapi setelahnya kamu harus bangkit."

"Aku jahat___," ucap Diana disela tangisannya.

"Diana, kamu nggak jahat, kamu hanya tidak tau."

"Anterin aku ke makam orangtuaku," pinta Diana. Dia berusaha berdiri namun ditahan oleh tangan Darren.

"Ini udah malem, besok aku anterin. Sekarang kamu istirahat, kasihan adek, dia butuh istirahat," bujukku. Dia mengusap perut Diana penuh sayang.

Diana berusaha bangkit untuk berdiri. Beberapa kali mencoba tapi kakinya gemetar. Alhasil dia kembali duduk. Aku ambil badan dan langsung membopongnya ke kasur.

Pregnant ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang