Chapter 26

18 4 1
                                    

Rena berjalan pelan menuju jalan raya. Mobilnya dia tinggalkan di bengkel. Saat ini yang berada di pikirannya adalah Cila dan anak laki-laki itu serta pemilik bengkel yang dia temukan tewa di dalam mobil yang dibawanya bersama Cila.

Jedar...

Bunyi suara petir terdengar. Langit perlahan menggelep, hingga turunlah rintik-rintik hujan secara perlahan hingga lebat. Rena tidak memperdulikan bajunya atau dirinya yang telah basah. Yang dia pikirkan hanyalah tentang dimana Cila, Bima serta anak laki-laki tersebut.

Rena berhenti tepat di jalanan telepon genggam yang beberapa waktu lalu dia gunakan untuk berkomunikasi dengan Reihan. Bahkan sekarang dirinya tidak pernah menelpon mereka lagi. Dirinya berharap, mereka baik-baik saja disana.

Rena mendongakan kepalanya untuk melihat ke atas, tempat tiang listrik berdiri. Sekarang dirinya telah ingat semuanya. Dirinya ingat bagaimana masa lalunya, persis seperti anak laki-laki itu ceritakan.

Tiang itu, jalanan ini menjadi tempat kesaksian Rena kecil berlari dari penjara neraka yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dirinya ingat semua kejadiannya sekarang. Namun, itu tidak membuatnya menyerah. Dia harus menemukan Bima, Cila kalau bisa Anak kecil laki-laki tersebut.

Rena berjalan masuk ke dalam perpustakaan dengan memegang perutnya yang sakit akibat tusukan pisau tadi. Dirinya langsung mengambil telepon genggam disana setelah meminta izin kepada adik Ray.

tepat saat Rena ingin menelepon Reihan atau Ray,  suara dering telepon genggam lebih dulu masuk ke dalam telinganya. langsung saja dirinya mengangkat telepon tersebut dan terdengar suara Ray yang meminta bantuannya untuk datang menyelamatkan anak-anak.

'Ray berada di tempat anak-anak. Itu berarti aku dapat meminta bantuannya untuk memberitahuku dimana mereka sekarang.' batin Rena sambil membelalak kaget.

"Ray,  kau berada dimana? Anak-anak bagaimana?" ucap Rena menunggu jawaban Ray dengan gelisah. Kali ini saja dirinya berharap Ray memberikan kepastian padanya, bukan harapan palsu.

"Aku berada di sebuah gudang kosong dekat dengan hotelku. Kau tau gang kosong di samping hotelku? Nah kau masuk ke situ nanti kau akan menemukan ruangan gudang ini. Datanglah sekarang... " 
Ucapan Ray terhenti karena dirinya merasa ada yang datang dari arah belakangnya. Dan benar saja, Delard berdiri disana dengan membawa pistol serta anak buahnya yang berjaga untuk perintah sang ketua.

Ray menaruh telepon genggam yang masih tersambung panggilannya dengan Rena perlahan ke atas meja. Ray berbalik dan langsung menyerang Delard. Tentu anak buahnya tidak diam saja. Mereka menyerang balik Ray dengan bertubi-tubi.

Lama-kelamaan, Ray merasa lelah. Namun, dirinya mengingat anak-anak yang berada di dalam ruangan ini meminta pertolongannya. Ya, dia tidak boleh kalah. Dirinya harus menang.

Ray bangkit dan terus melawan meski dia terus terbanting kalah oleh mereka, namun Ray tetap mempertahankan dirinya. Tepat saat, dirinya telah berhasil mengalahkan anak buah Delard, dengan napas yang terengah-engah, dirinya berdiri dihadapan Delard seolah menantangnya untuk melawannya.

Delard berjalan pelan kearah Ray, namun Ray tidak sabaran. Dirinya ingin terus memusnahkan Delard sekarang juga dan mengeluarkan dirinya serta anak-anak dari sini.

Ray maju dengan pukulannya yang dirasa keras. Delard terus menghindari serangannya, sedangkan Ray terus menyerangnya tanpa ampun.

Sedangkan di seberang telepon, Rena mendengarkan perkelahian tersebut dengan dahi berkerut samar dan tatapannya yang ditajamkan. Hingga Rena mendengar suara lemparan kearah kayu hingga kayu tersebut patah. Dan suara Ray yang terbatuk parah.

Rena terus menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, dirinya berharap Ray dapat selamat dari sana. Namun, takdir berkata lain. Diseberang sana, Ray tertidur telentang dan terbatuk parah. Bahkan untuk bangkit pun rasanya sangat sesak, sakit dan susah.

Delard terus berjalan kearah Ray yang sudah terlihat diujung tamatnya. Tepat saat jaraknya dengan Ray berkisar 3 meter lagi, Delard mengeluarkan pistol kecilnya yang selalu dibawanya kemanapun dia berada.

Dan Delard berjalan semakin dekat kearahnya, dengan Ray yang rasanya lelah dan sakit, tidak dapat menggerakkan badannya serta Rena yang menunggu dengan gelisah di seberang telepon.

Delard tetap berjalan pelan dan santai seakan menikmati ritme kematian yang telah menunggu Ray. Dia tidak merasa khawatir jikalau Ray dapat bangkit dan kembali menyerangnya. Ya, dia berharap seperti itu. Namun, nyatanya itu hanyalah angan-angannya saja. Nyatanya Ray masih tertidur telentang dengan napas yang tidak beraturan dan menahan sakit. Bahkan dirinya tidak dapat bangkit untuk melawan seorang Adelard Pratama.

Hingga saat Delard tepat berada di belakang Ray yang sedang meringis kesakitan, Delard membidikan pistolnya kearah Ray yang sudah tidak kuat lagi menahan sakit akibat pukulan dari mereka semua.

"Ucapkan kalimat selamat tinggal. Sayang sekali ya, padahal kita baru saja bertemu, dan kau harus mendahuluiku. " Delard berpura-pura bersedih untuk menyambut kematian Ray yang berada tepat di depannya.

Dan...

Dor!

Peluru menancap di punggung Ray yang tidak bergerak lagi. Rena yang mendengar suara tembakan pun merasa terkejut walau sebentar sebelum dirinya menatap tajam kearah depan.

Delard mengambil telepon genggam yang masih tersambung panggilannya dengan Rena.

"Kau sudah tau dimana tempatnya bukan, sayang? Lebih baik, kau membawa dokumen itu atau jangan datang. Pergilah jika kau masih ingin hidup di dunia ini." Ucap Delard kejam sambil menyeringai.

Rena meremas kepalan tangannya kuat. Dia tidak akan mengampuni mereka yang telah membuat kerusuhan dan melukai keluarganya.

Die Gefährliche Mafia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang