17. Tetangga Baru

673 126 45
                                    

Di saat kedua orang tuanya sedang sibuk mengemas barang-barang ke dalam kardus. Kedua anaknya justru hanya duduk sambil memperhatikan tanpa berniat membantu. Itu semua mereka lakukan sebagai aksi protes, menolak untuk pindah ke rumah baru yang katanya lebih besar dari rumah mereka yang sekarang. Bahkan ada kolam renangnya segala, persis seperti keinginan salah satu dari mereka.

"Semua barang-barang di kamar kalian udah dimasukin ke kardus? Pisahin, buku-buku, tas-tas, pakaian-pakaian. Biar nanti gak ribet pas beresinnya," ucap Lina yang kini terlihat sedang sibuk merapikan perabotan di dapur.

Seohyun dan Nizam yang sejak tadi duduk di kursi meja makan sama sekali tidak menjawab pertanyaan sang ibu. Mereka benar-benar menolak pindah rumah karena sudah terlalu betah tinggal di rumah lama. Ya, walaupun memang tidak terlalu besar. Tapi, di sinilah mereka tumbuh.

"Dulu Nizam bilang pengen punya rumah yang ada kolam renangnya. Terus, kalo Teteh bilangnya pengen punya kamar model loteng gitu, biar bisa ngeliat bintang terus," ucap Rian, melirik putra dan putrinya bergantian. "Bapak udah kumpulin uang dari dulu. Dan Alhamdulillah, bisa bangun rumah kayak yang kalian mau. Tapi, sekarang kalian malah kayak gak seneng gini. Apa rumahnya mau dijual aja?"

"Jangan!" jawab Seohyun dan Nizam, membuat ayah dan ibunya heran.

"Kita kan belum liat rumahnya. Masa mau langsung dijual," ucap Seohyun.

"Iya, aku juga belum nyobain renang di sana. Ada perosotannya kan, Pak?" tanya Nizam, mulai terlihat antusias.

"Ada, kok. Perosotan yang muter-muter itu, kan? Biar nanti kalo Nisa sama Rifqi main ke rumah, mereka jadi bisa renang juga," jelas Rian.

"Yes!!" ujar Nizam senang.

"Pak, kalo kita pindah ke rumah baru, berarti rumah yang ini dijual, dong?" tanya Seohyun, kembali merasa sedih.

Rian terdiam sambil memperhatikan rumah mereka yang mulai terlihat kosong karena sebagain barang sudah dikemas ke dalam kardus. "Ya... mau gimana lagi. Kalo gak dijual, nantinya malah gak keurus. Seenggaknya kalo ada yang beli, otomatis rumah ini akan tetep terawat," jelasnya, menghibur anak dan istrinya yang terlihat sedih.

Seohyun menghela napas panjang, tak berniat menyuarakan penolakannya lagi. "Nyari temen di sana pasti susah. Orang komplek kan jarang yang main keluar gitu," gumamnya pelan.

"Teteh mainnya sama aku aja," celetuk Nizam tiba-tiba.

"Bukannya main, yang ada malah berantem terus," timpal Seohyun sebal, lalu bangkit berdiri, lantas melangkah pergi ke kamarnya. Ia tak menyangka, pindah rumah saja sampai segalau ini. Padahal waktu kecil pun ia juga pernah merasakannya. Bahkan pindah ke luar kota, dari Padang yang merupakan kota kelahirannya dan sang ayah, lalu berpindah ke Bandung yang menjadi kota kelahiran ibu dan adiknya. Tapi, tidak segalau ini. Mungkin karena saat itu dirinya masih berusia dua tahun.

Krekkk!

Seohyun menatap kamarnya yang sudah ia tempati selama sepuluh tahun. Dan ini merupakan malam terakhir ia akan tidur di sini. Pasti tidurnya tidak akan bisa nyenyak.

Drrttt!

Ponselnya yang berada di ranjang bergetar, Seohyun pun meraihnya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab Seohyun, berbaring di ranjang dengan kedua kaki masih menggantung, menatap langit-langit kamarnya.

"Besok aku main ke rumah kamu, ya?" ucap Yoona di seberang sana.

Seohyun mengembuskan napas lelah. "Besok aku mau pindahan, Yoon."

"Hah?! Serius?" tanya Yoona dengan nada suara terkejut.

Presiden Jomblo (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang