33.

46 5 0
                                    

"Ka Rafka drop? Jadi kemaren nggak sekolah karena masuk rumah sakit?" Tanya Jeya

Luna mengangguk, "yaudah nanti pulang sekolah kita jenguk aja." Kata Silvia

"Boleh, gue juga niatnya mau langsung kerumah sakit." Ucap Luna


"Ajak pacar lo aja sil, biar naik mobil dia." Celetuk Jeya

Silvia yang tengah berada disampingnya pun menyikut lengan Jeya. "Enak banget lo ngemeng." Ujar Silvia

"Ya emang kenapa sih, punya temen kaya tuh sesekali harus diporotin!" Kata Jeya

"Heh! Pemikiran macam apa itu?!"

"Otak gue keliatan licik banget ya sil?" Tanya Jeya dengan cengiran khasnya.

"Emang,"

"Sialan lo. Ajak ya sil, biar bilang ke ortu gue gampang."

"Ck, lama kelamaan gue yang muak sama kekangan keluarga lo." Ujar Silvia dan menyantap lagi makanannya.

"Udah iklas lahir batin gue." Kata Jeya terkekeh pelan.

Luna melihat kesedihan diraut wajah sahabat dari ia kecil ini. Luna sangat tau, kenal betul dengan semua aturan aturan yang diterima Jeya sejak kecil.

"Je," panggil Luna

"Hah?"

"Apa yang bisa buat lo bertahan sampe sekarang? Gue nggak pernah liat lo ngelawan, paling cuman nangis nangis ke kita karena capek. Tapi setelahnya lo biasa aja?" Tanya Luna

"Lo mau muji gue ya?" Tanya Jeya.

Silvia menimpuk Jeya dengan tissue bekas yang di pegangnya otomatis.

"Nguji kesabaran orang mulu lo tuh!" Umpat Luna

Jeya hanya tertawa setelahnya. "Tau lo!" Ujar Silvia menyetujui.

"Jadi apa?" Tanya Luna

Jeya nampak berpikir. "Salah satu alesan gue bertahan adalah ya karena gue sayang orangtua gue. Dan saat orangtua gue bilang 'kamu harus kaya gini, gitu, gak boleh ini, itu' gue nggak bisa ngelawan. Gue ngerasa nggak punya hak kuat untuk nolak walaupun gue nggak mampu untuk jalanin itu."

"Impian lo je?" Tanya Silvi

Jeya menggeleng lemah. Tersenyum kecut. "Kata mamah gue, jadi penulis itu nggak berguna sil."

"Mama gue terlalu benci sama masalalunya. Bahkan kalo mama nemuin puisi di meja belajar gue, beliau bakalan bakar dan omelin gue. Gue nggak bisa jadi jaksa, lun, sil," Jeya tidak lagi bisa membendung tangisnya.

Silvia pun langsung mengusap punggung Jeya itu. Meski begini Silvia menyayangi Jeya seperti adiknya. "Gue bisa nurutin apapun yang mereka minta, tapi buat jadi jaksa itu bukan kemauan gue. Terlalu berat buat gue jalanin."

"Gue ngerti Je," ucap Silvia masih dengan usapan lembut di punggung Jeya.

"Menurut gue lo masih punya banyak kesempatan buat nunjukin kalo penulis itu bukan pekerjaan buruk yang kaya mama lo bayangin. Coba lo nulis nulis lagi, terus kirim ke penerbit dan buktiin ke orang tua lo." Kata Luna ketika Jeya sudah sedikit mereda dari tangisnya.

Silvia mengangguk, "dan menurut gue. Lo bisa kerjain pekerjaan itu sekaligus."

"Maksud lo gue harus jadi jaksa dan penulis sekaligus?" Beo Jeya berbicara masih dengan sisa sisa isaknya.

"Iya, jaksa jadi pekerjaan utama lo dan penulis sampingan lo atau kebalikannya juga bisa. Meskipun nulis perlu banget feel tapi kayanya kalo untuk waktu tergantung lo nya kan?"

"Betul juga tuh kata Silvi. Lo bisa kerjain dua duanya je. Tapi itu pendapat kita aja sih, kan ini hidup lo."

Jeya mengangguk. Mengusap sisa sisa air mata yang masih menggenang di wajahnya. "Kayanya harus nyoba dan berusaha lagi buat jadi jaksa." Kata Jeya dengan senyum getirnya.

🔥

"Sakha jangan tarik tarik rambut gue terus!" Teriak Silvi

Jeya yang sedang menyapu koridor depan kelas nya pun menggeleng heran dengan teriakan Silvi. Untungnya sekolah sudah sepi. "Rusuh banget lo berdua." Kata Jeya.

Silvia membenarkan rambut nya. Menatap sang pacar dengan desisan tajam keluar dari mulutnya. Sementara Sakha tidak menghiraukan makian silvia, "gaya gayaan piket." Celetuk Sakha

"Tinggal nunggu si Luna tuh di dalem," kata Jeya tidak memperdulikan tuturan sakha.

Tidak lama Luna sudah siap dengan tasnya. "Ayo!"

"Semanget banget Bu," sindir Sakha

"Ya kali nggak semanget ketemu doi." Jawab Luna

Jeya hanya terkekeh, "kita mau beli apa dulu?" Tanya Jeya

Lalu setelah membeli satu ranjang buah, roti beserta makanan lainnya mereka memasuki ruang rawat diselingi tawa receh mereka. Luna sengaja tidak mengabari Rafka karena percuma, lelaki itu tidak akan memainkan ponselnya.

"Ruangannya disini kan?" Tanya Silvia dibalas anggukan.

"Kok kaya lagi rame ya?" Tanya Sakha.

"Nggak tau gue juga," ujar Luna

Setelah mengucap salam, mereka berempat memasuki kamar rawat Rafka yang sangat ramai. Mungkin teman sekelas Rafka. Tapi bukan itu yang sekarang menjadi perhatian Luna. Tangannya mengepal kuat. Rasanya menyakitkan.

Bodoh. Bantin Luna.

Luna memandang lurus dengan tatapan tidak percaya. Disana ada Rafka, yang tengah terduduk sambil disuapi bubur oleh.. Bintang. Menyerahkan seluruh atensinya pada gadis yang tengah tertawa keras akibat Rafka sendiri. Membiarkan teman yang lainnya menyaksikan kemesraan keduanya. Tidak ada yang melihatnya, keberadaannya.

"Raf, ada Luna tuh!" Hingga teriakan itu membuat Rafka menoleh. Seketika ruangan riuh itu menjadi hening.

Luna menggeleng pelan. "Gue pulang." Dengan cepat ia berlari dari ruangan. Menghindari sesak yang datang di dada. Lalu membiarkan air mata mengalir meski tanpa diminta.

Luna langsung menaiki taxi dengan tergesa. Tidak peduli teriakan Jeya dan Silvi yang memanggilnya. Pemandangan tadi terlalu menyakitkan untuk di lihat. Hebat kalau masih bisa berfikir positif. Rasanya Luna ingin teriak. Menumpahkan segala resah dan sesak pada hati nya saat ini. Biasanya, Rafka akan selalu ada. Tapi ia lupa, bahwa perasaan ini ada karena Rafka.

"Mbak mau diantar kemana?"

Setelah menyebutkan alamat rumahnya, Luna memejamkan mata. Mencoba menghilangkan bayangan tadi.

Sementara itu, setelah Jeya dan Silvia mengejar Luna Sakha menghampiri Rafka. "Lo sangat salah buat Luna nangis."

"Lo lemah? Pake disuapin segala." Kata Sakha sarkas. Lalu cowok itu keluar setelah pamit pada yang lain.

***

TBC..

15 Oktober 2020

Tatap ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang