31 - Death of The Undying

86 31 3
                                    

SEJUJURNYA MENYANDANG gelar leader di sebuah grup kecil, Suho cemas apakah eksistensi dan kinerjanya tak diterima oleh yang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SEJUJURNYA MENYANDANG gelar leader di sebuah grup kecil, Suho cemas apakah eksistensi dan kinerjanya tak diterima oleh yang lain. Beban yang dipikul juga lumayan berat; ia harus memberikan contoh baik, bertanggungjawab dan memprioritaskan grup, menjadi penghubung antar member, serta masih banyak lagi. Ia bahkan sering memaki-maki diri sendiri bahwa sosoknya sama sekali tidak pantas memimpin dan menuntun grup ini. Acapkali rasa rendah diri itu muncul, nyatanya mereka selalu mendukung langkah Suho dan tak pernah mempermasalahkan kekurangan yang ia miliki. Bagi mereka, Suho sebagai leader-nya sudah lebih dari cukup.

Lucu sekali bukan, ketika menganggap diri sendiri tidak pantas, justru di dalam kepala orang lain tak demikian. Rumit memang memahami kepribadian sendiri. Sebab itulah, diperlukan orang lain dalam hidup yang juga berguna dalam menuntun hidup. Bukan dalam artian bergantung, namun bekal mengenal diri dan berubah lebih baik lagi.

Maka untuk waktu lima tahun belakangan ini, sebelum memasuki tahun keenam, Suho berusaha sekuat tenaga dan menyingkirkan pikiran buruk tersebut. Jika tetap ada, itu sama saja dengan tidak menghargai teman-temannya. Padahal mereka sudah mendukungnya, tetapi Suho malah menciut seperti itu. Supaya mereka tidak khawatir dan grup tetap maju, yang bisa Suho lakukan hanyalah menjadi leader sebagaimana mestinya. Walau tidak sempurna, cukup menjadi diri sendiri dan tunjukkan bagaimana ia memimpin.

Namun dalam kebanyakan kasus, terkadang beberapa hal memang ditakdirkan untuk memudar dan tak selamanya keyakinan itu tetap ada.

Sebab di sana, tatkala Suho membuka mata dan kewarasannya berangsur pulih─kendati sekujur tubuh beserta organ dalam seolah mati rasa─indera penglihatannya merekam jelas peristiwa yang sedang berlangsung. Tempat ini gelap, pengap, dan atmosfernya menegangkan. Tetapi kini tak lagi, sebab disinari oleh titik-titik cahaya yang melahap empat insan sekaligus─menjadikannya terurai seperti abu secara perlahan. Ditambah, terdapat obor api yang terjatuh dan apinya menyebar ke mana-mana. Bukankah sudah cukup untuk memberikan penerangan?

Suho sungguh berharap matanya salah melihat. Barangkali, ini pun termasuk ilusi belaka yang tidak nyata. Berapa kali pun Suho berusaha menolaknya, realita tetaplah tamparan pahit yang harus ditelan bulat-bulat. Padahal setelah melewati euforia naluri sinting, ia berharap mimpi buruk ini berakhir.

"Aku tak t-teri... ma ini... s-sangat!" gerutu salah satu yang terlahap titik-titik cahaya. Suho mengenalnya sebagai Hojin. Kini ia tampak tak berdaya. "Bagaimana mungkin cara kolot itu ... mampu m-mele... nyapkanku!" Ia bergerak brutal, melotot, meraung, namun tak cukup kuat untuk melepaskan diri.

Mengesampingkan ketakutannya dari iblis dan tak mempedulikan bara api yang kian memanas, Suho beranjak dari tempatnya. Ia berjalan mendekati ketiga sosok yang familiar, satu berbaring di bawah dan dua lagi berada tak jauh. Raga mereka memang ada di sana, tetapi tampaknya tidak dengan sang jiwa. Sebab raut wajah mereka hampa, benar-benar datar tanpa kehidupan. Jikalau mati, mengapa sang raga tidak dibiarkan beristirahat di sini dan malah dilahap entah ke mana? Menyaksikannya sungguh tak kuasa.

Resolve the DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang