24. three hearts

7K 515 74
                                    

“Tuhan, siram wajahku dengan air langitmu. Kuingin menari dengannya, menangis diderasnya, kemudian menertawakan kebodohanku bersamanya.”

—Three heart—

♪Somebody else

•••

DIBAWAH langit malam yang sedang ditemani rembulan dan juga bintang, seorang cowok duduk dengan jari telunjuk dan jari tengah menghimpit sebuah nikotin. Dengan kaki yang ditekuk serta kedua tangan mengitari lutut.


Menghisap tembakau yang katanya menenangkan itu lalu mengepulkannya ke udara. Satu kotak telah ia habiskan dalam waktu kurang dari dua jam. Satu habis, diinjak dan berganti dengan yang masih utuh, begitu terus.

Altair. Satu nama yang sedari tadi mengitari isi kepalanya. Mengapa Zeyra memanggil Brilian dengan sebutan Altair?

Untuk seseorang yang amat mencintai alam, Ranz tau dibalik kata tersebut. Altair berarti bintang.

Brilian Altair Wesley. Ranz selalu hafal nama itu, nama yang menjadi alasan kematian sahabatnya. Mengapa Zeyra memanggil Brilian dengan nama tengahnya?

Derap kaki dari belakang terdengar menandakan ada seseorang yang mendekatinya. Cowok itu tidak berbalik walau tahu ada yang datang.

"Mau mati lo?" Kata-kata yang terdengar kasar itu masuk begitu saja dalam indera pendengarannya.

Ranz, cowok itu sama sekali tidak menghiraukan perkataan Devan. Masih dengan menghisap nikotin itu lalu mengepulkannya ke udara.

"2 jam kerjaan lo disini cuma buat ngabisin benda nggak berguna ini?" Devan mengambil kotak yang berada di samping tubuh Ranz, lalu menginjaknya seperti barang itu tak berguna.

Ranz masih diam, tak peduli perkataan yang terlontar dari mulut sahabatnya. Setidaknya ada satu batang lagi yang sedang ia pegang.

"Gue nggak nyangka pengaruh Jeje sekuat itu buat lo." Perkataan Devan kali ini mampu membuat Ranz berhenti, cowok itu menatap wakilnya dengan tajam.

Devan tersenyum miring. "Right?"

"Nggak ada hubungan apapun sama dia kalo lo mau tau," balas Ranz tajam.

Devan manggut-manggut kecil, lalu detik kemudian melemparkan pernyataan yang membuat Ranz bungkam. "Nggak seharusnya lo mempersenjata hati perempuan. Bukan lo banget."

Ranz menaikkan sebelah alisnya. "Maksud lo?"

"Dara."

Satu nama yang mampu membuat ketua Rigelasthor itu bungkam. Namun hanya sebentar sampai akhirnya ia menjawab dengan entengnya. "Gue sama sekali nggak mempersenjata siapapun."

"Open your eyes. Dara itu anak baik-baik, jangan karena lo dia jadi rusak."

Ranz termangu. Benar, Dara anak yang baik. Seketika sekelabat bayangan tentang kejadian siang tadi menghujamnya.

Ranz berjalan di koridor sekolah tanpa keempat temannya. Mereka sudah berada di kantin, Ranz yang tadinya ingin menuntaskan panggilan alam meminta mereka untuk pergi duluan.

Seperti biasa, Ranz berjalan dengan baju kemeja yang keluar serta tiga kancing teratas dibuka. Cowok itu memakai dasi, namun hanya menggantungkannya di leher tanpa bersusah payah untuk mengikatnya.

Dari arah yang berlawanan ia melihat keempat gadis yang sedang bersenda gurau berjalan ke arahnya. Ranz tahu tujuan mereka, pasti kantin.

Pandangan Ranz jatuh pada gadis berbandana hitam. Dan saat itu pula ia mengingat perkataan yang menghujam jantungnya.

RANZARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang