33. Penyesalan

5.9K 399 54
                                    

SEORANG cowok terduduk di salah satu kursi yang menghadap langsung pada meja panjang berisi beragam makanan di hadapannya. Tatapannya tak terbaca, luka dihatinya belum pulih namun kini ditambah luka yang baru. Lampu remang-remang menemaninya, membenarkan kalau hidupnya memang begitu suram tanpa sang bintang.


Harusnya, malam ini ia sedang tersenyum bersama gadisnya. Harusnya, ruangan ini menjadi saksi kembalinya dua hati yang telah lama berjarak, namun sepertinya semesta tak sebaik itu mengembalikkan kebahagiaannya.

Apa ini awalnya? Awal kehancurannya? Apa semesta menunjukkan bahwa mereka memang tak dapat bersatu dengan cara seperti ini?

Tuhan mereka berbeda, namun keduanya selalu menampik. Brilian maupun Zeyra selalu menganggap itu tak pernah nyata. Namun siapa sangka Brilian selalu memikirkan hal itu saat melihat wajah gadisnya?

Sialan! Sialan! Sialan!

Bagaimana dua hati dapat menyatu jika takdir saja menentangnya?!

Suara decitan pintu menarik perhatian Brilian. Disana, Gavin berdiri dengan tatapan yang tak dapat ia definisikan.

"Jangan bohong Bril, sekarang gue tanya sekali lagi, kenapa dia nggak dateng?" Pertanyaan itu tenang namun penuh penekanan.

"Udah gue bilang, dia sakit, Vin. Gue lupa ngabarin kalian karena ngeliat keadaan dia lagi nggak baik-baik aja. Gue nemenin dia sampe lupa buat ngabarin. Apa alasan itu kurang buat lo?"

Bohong! Bohong! Bohong! Nyatanya, ia lah kini yang sedang tidak baik-baik saja.

"Terus ngapain lo disini?"

"Gue nggak enak sama anak-anak, mereka kecewa banget kayanya." Brilian memandang meja panjang dihadapannya.

"Bahkan kecewa mereka nggak sebanding sama kecewa lo, Right?" Gavin tersenyum miring.

"Maksud lo?"

"Lo bisa bohongin diri lo, tapi lo nggak bisa bohongin gue, Brilian. Akhiri kalau hanya menyakiti diri sendiri." Gavin menepuk pundak Brilian sekali, lalu keluar dari ruangan tersebut.

Akhiri kalau hanya menyakiti diri sendiri.

"Arghhhhhhhh!" Brilian bangkit, menendang kursi dihadapannya lalu memukul permukaan meja dengan begitu kuat hingga membuat buku-buku jarinya pecah. Menggusar rambut kecoklatannya dengan kasar, lalu menjatuhkan lututnya ke permukaan lantai.

Lagi-lagi, semesta tak mengizinkannya bahagia.

***

"Jadi Brilian liat lo pelukan sama Ranz?" Tanya Syena mengambil kesimpulan dari cerita Zeyra. Gadis itu mengangguk dengan rasa sesal yang masih menghantui dirinya.

"Terus lo lupa janji lo buat pergi sama dia?" Zein menimpali dan Zeyra lagi-lagi mengangguk.

"Dan rencananya dia mau ajak kamu ke markas Alastor?" Kini Meisya yang bertanya membuat Zeyra kembali mengangguk.

"Jadi ceritanya Raga lagi marahan sama Ranz?" Tanya Zein lagi.

"Bukan Ranz doang, dia malah ngelepas diri gitu aja dari Rigelasthor. Nggak kebayang gue perasaan temen-temennya," balas Zeyra nelangsa.

"Jangan mikirin temennya aja dong, perasaan dia gimana coba? Setau aku Raga tuh anaknya apa adanya, meskipun suka tebar pesona sana-sini tapi dia yang paling ngerti temen-temennya," ujar Meisya benar adanya, meskipun suka mempermainkan hati perempuan, Raga tak pernah melewati batas.

Ingat salah satu peraturan Rigelasthor? Kalau perempuan ada untuk dihormati. Dan seluruh anggota menerapkannya dengan baik. Terkecuali Raga sepertinya.

"Dan—"

RANZARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang