Happy Reading !!!
***
“Devina, gue mau kita putus!”
Bagai di sambar petir di siang bolong, Devina membeku di tempatnya sementara laki-laki tampan yang baru saja melontarkan kata perpisahan itu melenggang pergi, meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan.
Tersenyum, Devina menyeka sudut matanya dengan kasar lalu melenggang pergi dari taman belakang yang menjadi saksi bisu berakhirnya sebuah hubungan yang sudah terjalin selama tiga bulan ini.
Melewati koridor yang di penuhi cukup ramai oleh mahasiswa /mahasiswi Universitas Kebaperan, wajah Devina kembali datar tanpa sama sekali menampilkan kesedihan. Namun meskipun tidak ada senyum yang berkembang, Devina tetaplah menjadi perhatian setiap orang yang dilewatinya.
Meski baru saja merasakan patah hati akibat di putuskan dengan tiba-tiba, tidak membuat Devin bersedih terlalu lama, karena baginya itu hanya akan menghalangi dirinya mencari kebahagiaan yang baru dan cinta yang baru.
Bukan hanya satu kali ini saja, Devina merasakan sakit hati, namun sudah berulang kali. Tidak jarang juga dirinya di putuskan oleh pacarnya dan tidak jarang pula dirinya yang memutuskan laki-laki yang menjadi pacarnya. Bagi Devina kedua hal itu sudah seperti mengganti pakaian yang habis ia pakai kemudian ia buang tanpa mau lagi dirinya pungut dan kenakan.
Baru menghabiskan satu semester berkuliah di UK ini, Devina sepertinya sudah sebanyak delapan kali mengganti kekasih dan dari kedelapannya itu hanya Gibran, laki-laki yang baru saja memutuskannya, yang bertahan hingga tiga bulan lamanya. Sementara yang lain dua minggu atau lamanya satu bulan pun selalu Devina hempaskan dengan alasan bosan, atau ada yang lebih tampan dari pacarnya itu, atau bahkan ia putuskan tanpa penjelasan.
“Dari mana lo, Sis?” tanya Devin, adik kembar Devina begitu dirinya duduk di bangku kantin.
“Taman belakang.” Jawab Devina singkat, lalu meneguk es teh di depannya yang sudah dirinya ketahui bahwa itu milik adik semata wayangnya.
“Ngapain?” kening Devin mengernyit menatap kakaknya. “Jangan bilang kalau lo--”
“Kali ini gue yang di putusin,” jawaban itu membuat Devin tertawa puas sampai menjadikan mereka perhatian penghuni kantin.
“Lo jadi adik sialan emang, Vin, kakak lo lagi patah hati malah lo ketawain!” Gio, teman Devin menggelengkan kepala tak habis pikir.
Devina yang merasa mendapat pembelaan mengangguk dengan menampilkan wajah sedihnya. Tentu saja itu dirinya buat-buat, meskipun sudut hatinya memang merasakan sedikit sakit akibat di putuskan.
“Kakak gue yang satu ini gak perlu di kasihani. Asal lo tahu, besok juga dia dapat cowok baru lagi,” kembali Devin tertawa, sampai sudut matanya mengeluarkan air. “Dia mana pernah bersedih berhari-hari.”
Gio dan Niko kemudian mengangguk begitu mengingat bagaimana reputasi kakak kembar dari temannya itu di kampus ini. Meskipun ini baru memasuki semester ke dua berada di Universitas Kebaperan, tapi nama Devina sudah di kenal hampir seluruh penghuni kampus, dan sebutan playgirl sudah melekat di diri gadis cantik itu.
“Ah, lo emang paling ngerti gue, Vin. Makin cinta gue sama lo.” Devina melayangkan kecupan singkat di pipi adiknya, kemudian melenggang pergi meninggalkan ketiga laki-laki di meja itu tanpa pamit sama sekali. Membuat Gio dan Niko melongo, sementara Devin mendengus seraya mengusap pipinya yang kena kecupan sang kakak.
“Kebiasaan lo kenapa gak ilang juga sih, Dev!” gerutu Devin kesal.
“Astaga, Vin, beruntung banget lo dapat kecupan dari cewek cantik, bikin gue iri aja tahu gak?” Niko masih saja menatap Devina yang berjalan menjauh meninggalkan kantin.
“Orang lain pasti ngira kalau kalian adalah sepasang kekasih,” Gio yang juga masih memperhatikan kepergian Devina ikut menambahi dan di angguki setuju oleh Niko.
“Kalau pun gue bukan adiknya dia, gue mah ogah jadi pacarnya.” Ujar Devin melanjutkan makan siangnya yang tertunda gara-gara kehadiran sang kakak.
“Kenapa?” tanya keduanya bersamaan.
“Ya mana mau gue sama cewek yang hobinya gonta ganti cowok? Yang setia masih banyak, please!”
“Tapi itu kakak lo, loh, Vin,”
“Memang, dan gue berharap dia segera menemukan laki-laki yang benar-benar di cintainya, supaya gak lagi comot sana sini.”
“Aamiin!” serempak Niko dan Gio mengaminkan doa sahabatnya itu. Meskipun berteman baru sejak masuk ke kampus, ketiganya sudah seperti sahabat yang mengenal lama.
🍒🍒🍒
Begitu jam kuliahnya selesai, Devina mengemasi alat-alat tulisnya ke dalam tas, setelah itu barulah keluar dari kelas bersama Miranda, sahabat satu-satunya sejak masuk ke UK (Universitas Kebaperan).
“Tumben cowok lo gak jemput? Biasanya begitu keluar dia udah nongkrong aja di depan pintu,” kata Miranda yang berhasil menurunkan lekukan bibir Devina.
“Udah putus,” jawab singkat Devina, membuat Miranda membelalakkan matanya tak percaya.
“Serius lo, Dev?” anggukan sebagai jawaban Devina atas pertanyaan temannya itu. “Kok bisa?” kembali Miranda bertanya, menemani langkah mereka menuju parkiran.
Kini kedikan bahu yang menjadi jawaban perempuan cantik itu yang kadang membuat Miranda kesal, bahkan siapa pun tidak akan percaya bahwa Devina seorang playgirl, mengingat bagaimana sikapnya yang cuek itu.
“Kenapa lo putusin?” tanya Miranda yang tak juga ingin menyerah, mengulik informasi sahabatnya.
“Gue yang di putusin.” Cuek Devina, membuat Miranda menghentikan langkahnya. Dan beberapa detik kemudian tawa Miranda terdengar hingga membuat beberapa orang menoleh dan menatapnya aneh.
“Gak menyangka gue kalau cewek secantik lo akan di putusin juga,” Miranda tertawa begitu kencang, menertawakan nasib percintaan sahabatnya.
“Berisik lo, Mir!” Devina melayangkan jitakkan keras pada kening perempuan di sampingnya itu, hingga tawa yang sebelumnya berderai di gantikan dengan ringisan.
“Kejam lo, Dev!” seru Miranda seraya mengusap keningnya yang berdenyut.
“Dev- Devina, lo lihat noh,” heboh Miranda menunjuk arah di depannya.
Dengan malas, Devina mengikuti arah yang di tunjuk temannya, dan begitu melihat apa yang ada di depannya, Devina mengepalkan tangan kuat hingga buku-buku jarinya memutih, untung saja dirinya sudah memotong kukunya kemarin, jika tidak, maka sudah dapat di pastikan bahwa telapak tangannya akan berdarah akibat tusukan kuku-kukunya sendiri.
“Ck, harusnya gue yang putusin lo, brengsek!” geram Devina dengan wajah memerahnya. Pemandangan yang hanya berjarak sekitar lima meter di depannya itu sukses membuat amarah Devina naik, menggantikan rasa sakit yang semula hatinya rasakan walau hanya setitik.
“Samperin Dev, samperin.” Miranda dengan semangat mengompori temannya. Ia penasaran bagaimana marahnya seorang Devina yang terkenal cuek dan kalem, tapi playgirl itu.
“Untuk apa?” tanyanya mengerutkan kening.
“Kasih pelajaran sama Gibran kalau--”
“Gue bukan guru, sorry," potong Devina, membuat Miranda hampir saja menjatuhkan rahangnya.
“Bukannya lo kesal gara-gara di putusin?”
“Memang, tapi buat kasih pelajaran ...? Gue aja masih di ajarin guru di kampus ini. Sorry, gue gak sejenius itu.” Devina menggelengkan kepala dengan raut wajah lugunya.
“Tapi maksud gue bukan untuk pelajaran yang itu, Devina sayang!” geram Miranda yang tidak menyangka bahwa otak temannya itu bisa selemot ini untuk mencerna apa yang dirinya maksudkan.
“Iya- iya gue paham maksud lo,” kata Devina tersenyum kecil, lalu kembali menoleh pada dua orang yang baru saja meninggalkan parkiran dengan motornya. “Lihat aja gimana gue bikin cowok brengsek itu menyesal karena udah mutusin gue!”
***
See you next part!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
Teen FictionDevina yang sejak awal di nobatkan sebagai playgirl di Universitas Kebaperan, siapa sangka akan terjerat pada pesona sang dosen muda yang baru saja masuk dan langsung menjadi idola seluruh kaum hawa di Kebaperan termasuk dirinya. Hanya saja Davina t...