Baju kebaya yang ku pakai kini sudah berganti menjadi gamis putih. Semua orang telah pergi dari lokasi makam menyisakan ku sendiri. Hari yang menjadi hari paling bahagia berganti menjadi hari yang menyakitkan dalam sekejap.
"Belum saja kamu pakaikan cincin di jari manis sudah ditinggal pergi. Dulu waktu di Teluk Lombok kamu sendiri yang bilang kalo temeni kemana pun. Tapi aku nggak salahkan itu Ru. Ya namanya takdir. Kalo saja kamu nggak turun mungkin kita kena dosa membiarkan orang kekurangan,"ucap ku menerawang jauh ke belakang.
Flashback On
Hari itu setelah menemui beberapa rekan kerja Aruna, kami pergi menikmati dan menengok kondisi masyarakat daerah pelosok. Awalnya semua baik-baik saja, hingga...
"Heh kalian orang kaya. Nggak usah injak tanah kami kalo masih mau hidup,"titah seorang warga membuat ku merinding. Apalagi Mandau di tangan yang jelas membuat ku makin merinding. "Run kita balik aja ya,"ucap ku memohon.
"Ya sudah kalo gitu,"ucap Aruna pasrah. Akhirnya kami kembali ke mobil namun dapat ku dengar jelas suara umpatan mengatakan kami penjajah. Padahal jelas ku tau pasti, perusahaan Aruna kerap berbagi dengan masyarakat daerah sini.
"Run kamu nggak papa,"tanya ku. "Udah biasa. Kan kita senasib Sha,"ucap Aruna. "Ya tapi kan. Kalo mereka cuma berani ngomong di belakang kalo pun di depan ngga sampai pakai Mandau,"ucapku tak habis pikir.
"Sudahlah bayangkan kalo kamu di posisi mereka pasti bakal ngerasa hal yang sama,"ucap Aruna berbesar hati. Makin besar rasa kagum pada sosok yang akan segera menjadi pendamping hidup ku ini. Padahal dia sering di sebut masyarakat miring ngga pernah di masukkan hati.
Kalo aku juga gitu tapi beda konsep cuy. "Harusnya kamu dapat apresiasi loh Mas. Karena kamu nggak cuma kelola tapi sejahterakan rakyat,"ucap ku. "Aku nggak butuh apresiasi Sha. Lagian apa guna apresiasi jika tidak ikhlas dari hati,"ucap Aruna.
Selepas perkataan Aruna, suasana menjadi hening hingga inisiatif Billy menyalakan musik. "Pak mungkin ada lagu yang menarik,"tanya Billy. "Terserah saja Bil,"ucap Aruna menutup mata nya. Sepertinya hari ini sangat melelahkan untuknya.
Sampai kepalanya akhirnya bersandar di pundak ku. "Nona kalo nona kurang nyaman mun
"Hust lanjut aja,"ucapku membiarkan Aruna tertidur di pundak ku. Banyak sekali urusan yang harus dia urus di kantor. Aku sibuk kalo kerja aja sisanya free. Sementara memandang luar jalanan, telinga ku mendengar suara dengkuran halus Aruna.
Benar kata Ustadzah ku saat mengaji dulu. Jangan liat orang dari latar belakang dan penampilan. Karena iman dan taqwa hanya Allah yang tau. Kita nggak berhak nilai. Tiap hari menuju hari H pun makin membuat hati ku mantap untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya.
Ketika sedang asyik menikmati lagu yang terputar, alunan berganti menjadi lagu paling legendaris sepanjang jalan hidup ku. Bersamaan dengan itu, Billy menghentikan mobil nya. "Maaf Nona. Di depan sepertinya ada kecelakaan serius hingga masuk jurang. Beberapa polisi dan TNI ada di depan Nona.
Aku hanya mengangguk sambil mendengarkan kembali musik mengalun. Aku meletakkan kepala Aruna ke samping sebelum turun untuk melihat.
Senajan aku lara, ning isih kuat nyonggo
Tatu sing ono ndodo
Perih rasane yen eling koweAmbyar
Nggak mungkin dia kan ada disini. Aku memutar badan kembali ke mobil dan mengurungkan niat untuk menengok. "Ashana,"aduhh kan dipanggil. Pura-pura nggak tau aja..
KAMU SEDANG MEMBACA
Srikandi Lautan Emas Nusantara - Completed
SpiritualHighest ranking : #5 surabaya #1 teknik #5 kimia Dulu saya nggak pernah mengharap menjadi pekerjaan saya saat ini. Dulu saya berniat untuk masuk sekolah untuk abdi negara. Namun tahun pertama saya gagal karena usia saya masih 15 tahun. Ya akhirnya...