Part 22 : Seutas Senyum

221 33 8
                                    

"Duhh cantiknya anak ibu,"entah kalimat ke berapa yang terucap dari bibir Anindita pagi ini. "Sudah hafal mati Bu,"ucapku menggelengkan kepala. Paesan adat Jawa begitu melekat sempurna. Mirip putri keraton yang anggun gitu. 

Kalo gini aku kayak ngerasa ada manis-manisnya tapi nggak nyaman. Karena aku memang bukan yang biasanya pakai baju beginian. Malam single ku berlalu mirip film India duduk di jendela sekarang sudah usai. Akad nya memang ngga di rumah jadi ya tunggu aja datang.

Malah sekarang ditinggal sendiri lagi. Ku dekati kembali jendela yang sama dengan yang semalam ku duduki. "Asha,"ucap Bava histeris memeluk ku erat. "Wehh udah Va. Ngap aku kamu peluk orang kayak peluk tiang,"ucapku kesal.

"Hehehe. Oiya aku cuma datang sendiri soalnya Arum kan pengajuan, Tasya lagi ada kegiatan juga. Jadi nanti datang di resepsi kedua mu,"ucap Bava. "Ouh ngerti kok. Oiya semoga cepet nyusul Va,"ucapku.

"Iya Sha. Semoga aja gitu, takut aja aku cari sendiri berakhir nggak dapat restu,"ucap Bava. "Hey kamu cantik, baik, ramah, cerdas. Pasti banyak yang mau sama kamu. Beda konsep dengan ku,"ucapku. "Hmm semoga ya Allah. Oiya gimana merana nya pingitan kemarin,"tanya Bava.

"Wow sekali,"ucapku terkekeh. "Nggak nyanyi aja kah kamu daripada masih nungguin,"ucap Bava. "Nggak cocok konsepnya,"ucapku. "Cocok. Apa yang nggak cocok? Oiya aku mau keluar dulu ya. Nanti dicari ortu ku,"ucap Bava beranjak pergi keluar.

Rasanya kamar ku bukan kayak pengantin tapi kuburan. Banyak betul bunga sama pernak-pernik pernikahan. Coba aku tinggi pasti ngga pakai heels tinggi. Bayangin aku dengan tinggi 155 cm terus dia 170 cm. 

Gimana? Kayak berdiri sama tiang listrik kan ya.. Kayaknya aku tuh waktu pembagian tinggi dulu itu ketiduran kali ya. Makanya begini sudah, coba Raka itu. Tinggi, cerdas, proporsional gitu. Tapi syukuri aja setidaknya aku masih di kasih kesempatan hidup normal.

"Duhh kakak ipar ku. Ayo turun ke bawah,"ucap Ardila. "Hah ngapain?,"tanya ku bingung. "Kamu ngga kangen sama Raka,"tanya Ulfa. "Nggak gitu juga,"ucapku. "Ehh sudah akad kah,"tanyaku baru sadar.

 Ulfa dan Ardila malah semakin menarik lengan ku dan membawa ku perlahan turun tangga dan berdiri di depan pintu. "Bu ngapain berdiri disini,"tanya ku bingung. "Kita ikuti adat dulu kan habis akad,"ucap Anindita membuat ku mengangguk. 

Perasaan ku bercampur aduk bukan ke bahagia namun lebih ke sedih dan takut. Bahkan aku merasakan tangan mulai dingin dan bergetar. "Mbak Asha kenapa,"tanya Gieska, sepupu ku yang membawa kembar mayang. "Sha kenapa kamu,"tanya Anindita panik.

"Air tolong,"ucap Anggita memberi ku segelas air putih. "Kok dingin betul tangan mu,"tanya Anggita menggenggam tangan ku. "Nggak papa Bun,"ucapku meyakinkan. "Mbak sudah nggak papa. Bismillah,"ucap Sekar membuat ku mengambil nafas panjang.

"Kenapa Kar?,"tanya Anindita. "Mbak Sasha trauma Bu,"ucap Sekar pelan. "Ya Allah ngga papa sayang. Bismillah denger sholawatnya sudah mulai kedengeran,"ucap Anggita mengusap punggung ku. 

طلع البدر علينا من ثنيات الوداع 

Hadrah pesantren mulai menggema memenuhi pelataran rumah. Saat melihat arak-arakan sholawat membuat hati ku terenyuh akan rindu pada Rasulullah. Perlahan mulai tampak paras menawan lagi rupawan laki-laki yang selama seminggu ini membuat ku jadi Miss galau tingkat dewa.

Sedikit rasa takut ku mulai berguguran namun masih saja gemetar di kedua tangan. "Lempar beras nya,"bisik Anindita. Aku hanya mengangguk dan melempar beras ke arahnya begitu pun sebaliknya. Kok jadi sayang berasnya sih. 

Saat ini prosesi entah apa namanya intinya mencuci kaki nya Raka yang kena pecahan telur. Prosesi adat Jawa memang selalu menimbulkan rasa unik meskipun aku rabun budaya Jawa. Semoga dia nggak sadar kalo tangan ku agak gemeter sama dingin betul.

Srikandi Lautan Emas Nusantara - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang