16- Excuse

2.6K 471 136
                                    

Jika Jennie tidak salah terka, pemandangan dirinya berjalan dengan tempo sedang diantara bunga-bunga serta rumput hijau yang tumbuh di tepian taman merupakan hal yang cukup Jennie sukai. Kendati kini ia melakukan hal yang sama, namun satu hal membuat segala suka menjadi dilema. Gundah serta redup yang menggelayut membuat setiap langkahnya terasa berbeda.

Menjadi seorang pencinta sedalam ini bukan berarti Jennie punya pemikiran dangkal dengan menganggap semua yang dilakukan oleh orang yang dicintainya benar.

Selain hati. Jennie juga masih punya otak yang bisa dipakai dengan baik.

Meski kadang memang susah selaras.

Apalagi ketika mata serta segala yang dilihatnya menunjukan hal yang memang melemahkan. Pemandangan seorang pria berbalut kemeja biru dengan celana hitam yang tengah duduk dibawah pohon rindang misalnya.

Pemandangan itu cukup untuk membuat langkah yang tadinya tegas menjadi melambat, nadi yang normal menjadi berdentum keras, dan udara yang diambil untuk bernafas seakan pergi entah kemana.

Bukan, semuanya bukan tanda-tanda jatuh cinta seperti orang bilang. Akan lebih baik jika begitu, hanya saja, hati yang sejak awal gundah sejenak berbisik bahwa ia belum siap. Jika nantinya harus mendengar sebuah alasan yang tak ingin didengar, jika sebuah kejujuran terasa seperti sebuah hantaman, ia belum siap jika nantinya lagi-lagi harus lebam.

Maka diantara langkah-langkah yang temponya melambat itu, Jennie perlahan berhenti. Mengamati. Orang yang dua puluh menit lalu menghubunginya, meminta temu, orang yang dua hari lalu memberinya kebahagiaan sederhana, orang yang kemarin pergi beralaskan kebohongan.

Dan ketika pria rupawan disana menyadari hadirnya, Jennie tak punya kuasa sama sekali untuk menoleh kearah manapun. Ia terpaku pada gravitasinya. Orang yang selama ini mengisi hatinya.

Membiarkan orang itu memiringkan wajah padanya, sebelum ia berdiri mendekat karena gadis yang dinanti tak kunjung mendekat.

"Aku menunggu sudah agak lama," kalimat pertama Taehyung kala pria itu sampai dihadapan Jennie. Jennie bergeming, mendengarkan. "Tapi tidak bosan, pemandangannya cukup indah hingga aku bisa memaafkan segalanya."

Satu hal yang perlu ditegaskan. Taehyung membicarakan itu saat bahkan Jennie tidak bertanya, kata-katanya mengalir pelan bahkan saat tak mendapatkan jawaban.

"Kau tidak bilang kalau akan pulang lebih awal dari Maladewa," kata Taehyung lagi.

Jennie kembali berpikir. Lalu tersenyum. Sadar. Benar. Mereka memang sudah lebih dekat.

"Jimin bilang kalian ada empat hari disana," ujar Taehyung, sembari menanti Jennie membuka mulut mungkin. "Kau kembali karena ku?"

"Hm,"

Seperti yang siapapun duga. Jennie menjawabnya. Menggali lebih jauh kenyataan bagaimana mungkin lelaki ini bisa dalam keadaan baik-baik saja setelah semua yang terjadi, meskipun memang Jennie ingin Taehyung baik-baik saja, namun rasanya kurang adil jika membandingkan keadaan keduanya.

"Jadi bagaimana menurutmu?" Tanya Taehyung kemudian. Lelaki rupawan itu kemudian memasukan tangan kedalam saku celana.

"Dia cantik," jawab Jennie.

Sejenak. Sebentar sekali, mungkin sekitar dua detik Taehyung diam dengan sorot mata tak terbaca. Sebelum akhirnya ayah satu anak itu melengos sembari menjawab.

"Bukan itu maksudku," katanya. "Bagaimana menurutmu, apa yang kau pikirkan tentang aku setelah melihat artikel itu?"

"Kau brengsek."

Kelopak mata cantik milik Taehyung perlahan mengerjap. Iya. Ia bahkan sudah sering menganggap dirinya sendiri brengsek. Hanya saja, ia tak tau, jika disebut demikian oleh wanitanya rasanya akan sedikit berbeda.

Me After Him✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang