"Bisa kita bicara sekarang?"
Melalui kalimat tanya dari suara berat diseberang sana, gadis manis yang sedari tadi terpekur sendiri dalam lamunan kini mulai membimbing saraf matanya agar menatap lurus ke depan.
Lagi-lagi, binar mata bulat juga wajah melemahkan.
Taruhan itu Jennie yang menang. Taehyung mendatanginya. Taehyung menginginkannya. Tetapi anehnya, Jennie tidak merasa percikan bunga api sekecil apapun.
Jika itu tentang kelemahan hati, nama Jennie Kim tentu ada dalam daftar teratas. Namun melihat fakta adanya kompromi dari si lelaki yang tengah mati-matian dihindari dan Seokjin lelaki yang dipercayainya, hal itu membuat Jennie sedikit marah.
Ia pikir paling tidak, mereka akan mengerti.
Jennie menghela nafas pendek, mata tanpa polesan itu menyorot dingin. "Kau punya saran bagaimana aku bisa menghindar?"
"Kita harus bicara, Jen." Tak mengindahkan sarkasme, Taehyung kembali berusaha.
"Maka bicaralah," sahut Jennie cepat, tampak tidak terlalu perduli, ingin segera ingkar, menyingkirkan secepat mungkin dari sini.
Diantara oksigen pada tempat sepi itu, Jennie bisa melihat Taehyung sekilas diam, seperti tengah berpikir.
Pribadi ini, suara ketus, wajah dingin nan angkuh juga tatapan malas. Seseorang yang dulu Taehyung kenal. Ia kembali.
"Ikut denganku," katanya dengan lembut, jemari besar yang nganggur sepuluh detik lalu itu kemudian menggenggam pergelangan tangan Jennie.
Sehangat kepulan asap diantara cerobong tua batu di pedesaan, sebesar itu pula Jennie merasakan keinginan untuk singgah.
Ketika kulit mereka bersentuhan, ketika genggaman erat itu terasa senyaman rumah, dan ketika tatapan mata sesejuk telaga pagi sang pria yang masih jadi penghuni relung itu terpancar.
Satu kali lagi, Jennie mengerti. Manusia bisa jatuh berkali-kali.
Namun tidak ada pergerakan berarti. Kedua kaki putih itu terpaku pada lantai. Membuat keduanya saling pandang.
Dan sewaktu genggaman dilepaskan. Kosong menjelajah seluruh ruang.
"Disini atau tidak sama sekali," tolak Jennie terang-terangan. Berhasil meneguhkan hati.
Taehyung menggigit bibir bawah resah. Faham. Bahwasanya, semua tak lagi semudah dulu, jika saja menyeret anak gadis orang pergi tanpa permisi bukanlah sebuah kriminal Taehyung jelas akan melakukan itu.
"Sekali ini saja," desis Taehyung. "Semua tak akan menguntungkan bagimu kalau kita tetap berbincang disini.
"Lalu kenapa masih gigih mengajakku bicara?" Sahut Jennie. "Tidak bolehkah kau biarkan? Setidaknya memberiku waktu untuk berpikir."
"Dua minggu sudah lebih dari cukup."
Dan itu merupakan kesalahan fatal.
Harusnya Taehyung berbicara sejak awal. Dan tidak membiarkan kesalahpahaman menumpuk sampai berubah jadi sebuah keyakinan.
Jika saja di taman itu Taehyung menjawab dengan lantang bagaimana tepatnya ia dan Irish bertemu di Maladewa dan berakhir pada skandal berskala nasional semuanya tidak akan jadi serumit ini.
"Kei ingin bertemu denganmu. Kumohon," ujar Taehyung waktu sadar Jennie hanya memandangnya tanpa berniat membalas ucapan.
Bukan hanya sekedar bualan, walaupun memang tidak sepenuhnya benar. Karena kali ini, Taehyung yang rindu.
"Aku dan anakmu tidak sedekat itu, jadi jangan jadikan dia sebagai alasan." Keteguhan Jennie masih sama, berporos pada wejangan ibu kala itu, ia meyakinkan diri bahwa menjauh dari Taehyung merupakan keputusan paling bijak. Sang gadis membasahi bibir. "Katakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Me After Him✅
Fanfiction"Kisah ini, bukan lagi tentang Jennie si gadis pendiam yang ingin ditaklukan. Kisah ini hanya tentang bagaimana Jennie hidup setelah Kim Taehyung ada di hidupnya." Wajah cantik berpoles make up tipis itu mendongak. "It's all about Me after Him." ...