"Ketakutan yang aku punya masih sama, bahkan setelah tahun berlalu rasanya malah bertambah parah. Selain kau. Tidak ada penawar. Tidak akan. Sama sekali. Tidak ada."- Kim Jennie.
---
"Tekanan darahmu rendah," wanita dewasa berwajah cantik dengan jas putih khas petugas kesehatan itu melepas alat ukur tensi darah yang semula melingkar erat dilengan atas Jennie. Menyerukan angka sekitaran delapan puluh, yang mana itu berarti tekanan darahnya cukup rendah untuk seorang yang perlu banyak gerak. Dokter cantik itu menghela nafas dalam, heran pun khawatir, Jennie terlihat biasa saja berbanding terbalik dengan orang 'kurang darah' pada umumnya yang mana mengeluh pusing lemas dan mata berkunang-kunang, ia mengerti Jennie bukanlah pribadi yang suka rela kelemahannya diketahui orang, tapi harusnya ia tak usah berpura-pura apalagi didepan dokter, sakit bukanlah kelemahan."Tidurlah yang cukup dan kurangi pikiran tidak penting."
Jennie memajukan bibir.
Memasukan tangan kedalam saku jaket kulit yang ia pakai, sesekali matanya melirik dinding berhias benda melingkar yang menampilkan detik, atau kemudian matanya beralih pada tirai kecil disana. Seakan ingin cepat-cepat pergi.
Ruang putih yang rutin dikunjunginya ini selalu saja tak mampu membuatnya nyaman, jika bukan karena dokter pribadinya punya jadwal operasi yang bentrok dengan jadwal kerjanya, Jennie tidak mau kemari guna mengecek kesehatan menyeluruh tiap bulan.
"Telingamu bagaimana? Ada keluhan?" Tanya dokter muda itu kemudian, sambil menulis sederet kalimat pada data pasien dengan tulisan yang tak dapat dibaca oleh mata telanjang orang awam. Jennie pernah mencoba membacanya, tetapi tulisan itu tidak lebih baik dari geliat cacing tanah yang tak beraturan.
Sangat wajar ditanyakan.
"Telingaku baik-baik saja. Aku ini sudah sembuh total." Jawab Jennie.
Sang dokter mengangguk satu kali, teringat kembali pada catatan medis yang dibawa Jennie ketika pertama kali datang padanya. Catatan medis yang dibawanya dari sebuah rumah sakit dari negeri yang jauh. "Syukurlah, tapi jika mengingat presentasi sakit syaraf yang selama ini aku tangani, beberapa dari mereka yang sudah sembuh mengalami gejala awal sakit itu datang, dan berpotensi kambuh kembali." Ujarnya menghela nafas. "Itulah mengapa aku selalu mewanti-wanti agar kau menjaga kesehatan. Ini pertama kali tensi-mu turun, jadi aku menanyakannya karena khawatir."
"Don't worry."
Wanita berjas putih itu meletakkan bolpoint diatas meja, ia mengumpulkan dua tangan jadi satu. "Kalau begitu, ceritakan masalahmu padaku, mencurahkan isi hati ketika stress itu opsi penyembuhan nomor satu. Apa yang membuatmu gelisah akhir-akhir ini?"
Jennie mendesah berat.
Yang membuatnya gelisah?
Banyak.
Belakangan, ia memang menjadi pribadi yang sedikit lebih terbuka pada teman-temannya, jika mereka berkumpul, Jennie tidak lagi cuma mendengar, ia juga kadang mengeluarkan unek-unek yang kiranya ingin diungkapkan.
Tetapi, biasanya, bukan masalah tentang pria atau percintaan. Jennie bahkan hampir tak pernah membicarakan topik merah muda itu. Tidak untuk lima tahun terakhir.
Tidak ada merah muda lain baginya selain Taehyung.
"Mantan pacarmu," sahut Jennie akhirnya.
Sang dokter menyirit, menampilkan raut bertanya walau sebenarnya ia mengerti betul siapa yang dimaksud Jennie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me After Him✅
Fanfiction"Kisah ini, bukan lagi tentang Jennie si gadis pendiam yang ingin ditaklukan. Kisah ini hanya tentang bagaimana Jennie hidup setelah Kim Taehyung ada di hidupnya." Wajah cantik berpoles make up tipis itu mendongak. "It's all about Me after Him." ...